Suara cicit burung beradu dengan gesekan ranting pohon dan dedaunan memenuhi telinga Alin dan Ameta sewaktu mereka melangkah di halaman belakang Home School. Setelah mengunjungi Bayu di ruang pengakuan dosa yang letaknya tepat di belakang gedung Home School.
Ameta dan Alin masih tidak habis pikir, seluruh atensinya direnggut habis oleh pernyataan Bayu soal ikan yang mati tempo lalu.
“Alin ... kalau itu bukan salah satu ikan kita ...,” Ameta berpaling menatap Alin yang berjalan tepat di sebelahnya. “Semua ini mungkin ... rencana para Mr atau Ms.”
Alin mengernyit, berpaling menatap Ameta. “Bagaimana?”
“Semuanya mungkin sudah diatur sejak awal.” Ameta menghela napas, berpaling ke arah lain. “Masalah ikan kita dan juga Bayu ...,” dia kembali menatap Alin. “Pikirkan saja, kapan mereka mulai menghukum kita?”
Bola mata Alin bergerak ke atas—seolah berpikir. “Saat ... Bayu dihukum,” Alin berpaling menatap Ameta. “Karena ikannya mati.”
“Tapi Bayu bilang, ikan yang mati itu bukan milik salah satu dari kita. Yang artinya, itu ikan yang sudah disiapkan para Mr dan Ms ...,” Ameta berhenti melangkah, diikuti Alin. Mereka saling berhadapan. “Agar mereka punya alasan untuk menghukum kita.”
Dalam kepala mereka seolah berseliweran pikiran dan prasangka buruk, sampai mereka menarik kesimpulan, kalau semua ini ada sangkut-pautnya dengan petinggi Home School.
Bibir Alin mengerucut kesal, napasnya tersengal-sengal. Dia meninju telapak tangan kirinya geram. “Sialan!” Gadis itu bergegas pergi, meninggalkan Ameta dengan berniat mencari Mr atau Ms untuk mendapat penjelasan.
“Alin, kamu mau ke mana? Alin!” Ameta berteriak. Tapi teriakannya tidak Alin pedulikan.
Alin berlari melewati teras Home School dengan jantung berdebar-debar karena emosi. Dia menemukan Ms. Hana dan Mr. Jarot di persimpangan tikungan menuju halaman belakang gedung. Mereka sedang mengobrol, Alin tidak tahu apa yang sedang dibicarakan mereka, seperti hal penting tapi sungguh Alin tak peduli.
“Kalian pikir kami ini apa? Terus-terusan mengacaukan kami seperti ini!” Tanpa kalimat pembuka, Alin melabrak Mr. Jarot dan Ms. Hana dengan suara keras. Sampai mereka menghentikan langkahnya tepat di hadapan Alin dengan bingung.
Mr. Jarot dan Ms. Hana memandangi mata Alin yang menatapnya penuh sorot kebencian. “Apa yang kamu bicarakan?” tanya Ms. Hana dingin.
“Apa menurut kalian ini hal sangat menyenangkan karena bisa memfitnah dan menghukum kami?!”
“Kamu tidak berhak meninggikan suaramu pada kami, gurumu.” Mr. Jarot tiba-tiba menimpali dengan tatapan dingin.
“Lalu kalian punya hak apa untuk memfitnah Bayu?” Alin masih saja bertanya dengan suara yang terdengar keras.
“Hei, kau!” teriak Mr. Jarot, hendak melangkah mendekati Alin.
Ms. Hana menahan lengan Mr. Jarot. “Mr. Jarot, tenanglah.”
Tak lama kemudian, Ameta muncul di belakang Alin, menarik tangan Alin, tidak ingin temannya itu lepas kendali di depan petinggi Home School.
Ameta menatap Alin sekejap sebelum akhirnya berpaling menatap Mr. Jarot dan Ms. Hana kemudian membungkuk setengah badan. “Maaf Mr. Jarot, Ms. Hana ...,” Ameta kembali menegakkan tubuhnya, berpaling menatap Alin yang masih tersulut emosi. Tangan kanan Alin mengepal meremas roknya. “Alin kesal karena kami dihukum.”
Alin masih menatap ke arah Ms. Hana dan Mr. Jarot. Napasnya tersengal-sengal. “Saya kesal karena orang-orang dewasa sinting ini sudah menghasut dan memfitnah kami!” Dia berteriak dan menunjuk Mr. Jarot dan Ms. Hana. “Orang dewasa macam apa kalian, Hah?!”
Ameta mencengkeram tangan kiri Alin, berusaha memberi isyarat untuk menjaga sikap. “Alin, jaga bicaramu!” bisik Ameta mengingatkan.
Namun, Alin tak peduli, emosinya semakin tersulut menguasai dirinya. “Apakah menyenangkan melihat siswa kalian dihukum? Saya tidak tahu apa yang kalian rencanakan. Tapi yang pasti adalah ... kami tidak akan berada dalam permainan gila ini!”
Ms. Hana melirik Mr. Jarot.
Suara Alin yang terdengar keras berhasil mengundang perhatian Vicko dan Vicky yang tidak sengaja memergoki Alin, Ameta, Ms. Hana dan Mr. Jarot. Mereka berdua menghampiri, ingin lebih tahu masalah dari perselisihan yang terjadi. Sampai Alin terlihat sangat emosi.
Mr. Jarot menggertakkan giginya. “Jika kamu tidak berhenti bersikap agresif seperti ini—”
“Terus apa, hah?” sela Alin—hendak melangkah mendekati Mr. Jarot, namun Ameta dengan sigap menahan lengan temannya itu. “Mau menghukum saya?” Alin menghempaskan tangan Ameta. “Silakan, Mr. Jarot! Hukum saja orang lain—” kedua tangan Alin dilipat di depan dada, menarik senyum sarkas. “—karena saya tahu saya tidak akan dihukum. Silakan!”
Ameta kembali menarik tangan Alin yang berniat menghampiri Mr. Jarot, lagi. Namun dengan kasar, Alin menghempaskan tangan Ameta dan melemparkan tatapan tajam. Sebagai isyarat Jangan menghalangi.
Mr. Jarot melangkah mundur, menyejajarkan posisinya dengan Ms. Hana. Laki-laki itu menarik ujung bibirnya menyeringai, menepuk-nepuk tangannya. “Di antara GEN7 ini ada cukup banyak siswa cerdas, Ms. Hana.”
Ms. Hana menyunggingkan senyuman sumir, berpaling menatap Alin dan Ameta. “Jika sadar apa masalahnya, ambillah tindakan untuk mengatasinya.”
Ameta mengernyit. “Apa maksudnya?” akhirnya Ameta angkat suara.