Siswa-siswi dibuat terpana dan tersenyum-senyum ketika melihat hidangan pagi ini di atas meja di hadapan mereka.
Roti sandwich lengkap dengan isian slice beef, keju, tomat, selada dan beberapa komponen yang menumpuk disela roti membuat ukurannya besar dan dibalut kertas pembungkus berwarna putih. Lengkap dengan satu gelas susu vanila.
Aroma harum sandwich itu sangat menggugah selera. Mereka menyantap hidangan itu penuh penghayatan dan juga kenikmatan. Komponen yang tersusun di dalam sandwich itu meluber, mengoyak brutal indra pengecap.
Mereka menikmati sarapan kali ini tanpa berkata, tanpa suara. Hingga akhirnya, terdengar suara langkah kaki memasuki ruang pertemuan memecah kesunyian. Refleks semua atensi berpaling menatap sumber suara dan menampakkan Mr. Lucky datang—di tangannya membawa bungkusan sandwich—menyunggingkan senyum simpul dan berdiri tepat di belakang Evelyn.
Meletakkan sandwich yang dia pegang tepat di samping hidangan Evelyn.
“Tolong antarkan makanan ini untuk Tuan Bayu di ruang detensi.”
Evelyn mengernyit. “Kenapa harus saya? Mr. Lucky saja yang antarkan sendiri. Biasanya itu tugas Mr. Lucky, kan?”
Seluruh pasang mata menatap bingung Mr. Lucky dan Evelyn. Apalagi Ameta.
“Ini perintah dari Master Jason. Mulai sekarang, ini adalah tugas Nona Evelyn. Mengantarkan makanan untuk Tuan Bayu.” Mr. Lucky menyunggingkan senyuman simpul, menganggukkan kepala sebelum akhirnya melangkah pergi.
Sementara Evelyn, tidak bisa berkutik. Dia melirik Mikayla yang mencibir dan berpaling menatap Doni yang duduk tepat di hadapannya, melemparkan tatapan bingung dan penuh tanda tanya.
***
Sesampai di depan ruang detensi, Evelyn membuka pintu dan pandangan pertama yang dia lihat di dalam, Bayu yang terduduk sembari memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Pandangan laki-laki itu kosong dan terus menggumamkan kalimat...
“Bayu tidak bersalah ... Bayu ingin keluar dari sini ... Bayu minta maaf.”
Evelyn mengernyit, menelan ludah. Sempat membeku beberapa saat, kemudian kembali melangkah masuk. Sekilas, pandangannya mengitari sekitar sebelum akhirnya berhenti tepat di hadapan Bayu.
“Bayu ... aku bawakan sarapan untukmu.” Evelyn berjongkok, menyimpan bungkusan sandwich itu tepat di samping Bayu yang tidak henti menggumamkan kalimat itu. Bagai orang linglung yang tak tahu arah. Bahkan tidak merespons Evelyn sama sekali.
Evelyn awalnya tidak peduli dan kembali berbalik, berniat berlalu pergi. Sampai akhirnya sebuah kalimat lolos dari bibir Bayu yang berhasil membuat Evelyn menghentikan langkah, berpaling menatap Bayu dan dibuat terperangah...
“Itu bukan Bo. Itu bukan ikan milik Bayu. Ikan Bayu ... masih hidup.”
***
Ada banyak pertanyaan yang belum diketahui jawabannya oleh Ameta. Seperti salah satunya, apa tujuan para petinggi Home School memfitnah Bayu?
Ameta merasa semua kejadian tidak serta-merta kebetulan. Dia merasa semua sudah diatur sedemikian rupa oleh pihak Home School. Bahkan untuk hukuman yang selalu mereka dapatkan pun sepertinya begitu.
Ameta duduk di kursi ruang pertemuan. Dalam hatinya merutuki diri sendiri karena mempunyai sifat terlalu penasaran dan selalu berprasangka sangat buruk.
Dia menyimpan curiga karena Master Jason tiba-tiba menugaskan Evelyn untuk mengantar makanan pada Bayu.
Itu sudah cukup jelas bagi Ameta kalau ada makna tersembunyi dari perintah itu.
Gadis itu menghela napas, berusaha membuang segala pikiran buruknya. Dia beranjak dari kursi, berniat ke perpustakaan untuk mendistraksi segala pikiran tak masuk akalnya. Tapi, pandangannya tertuju ke pintu yang terbuka saat melihat Evelyn melangkah mendekat.
Dia segera melangkah mendekati Evelyn, rasa penasarannya kembali tergugah, niatnya untuk ke perpustakaan kini terlupa. Seolah suara hatinya menyuruh Ameta untuk menghadang langkah Evelyn.
Hingga Evelyn tersentak ketika tiba-tiba Ameta berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan penuh intimidasi dan prasangka.
“Sudah lihat, kan, keadaan Bayu sekarang?” Pertanyaan itu sebetulnya sederhana namun entah kenapa mendengar suara Ameta seolah Evelyn merasa tersudut.
Evelyn berusaha bersikap tenang meski tidak bisa dipungkiri kalau detak jantungnya sekarang tiba-tiba berdegup sangat kencang. Evelyn berusaha menghindar, tidak mengindahkan pertanyaan Ameta.
Dia melangkah. Namun Ameta kembali menghadang langkah Evelyn dengan sorot mata semakin mengintimidasi.
Evelyn berusaha tidak peduli, mendorong Ameta ke samping, membuka jalan untuknya. Namun, tanpa disangka, Ameta justru menarik tangan Evelyn dan mencengkeramnya keras.
“Aduh!” Evelyn meringis, refleks berbalik menatap Ameta.
“Aku tahu apa yang kamu sembunyikan.” Intonasi suara Ameta terdengar datar namun menusuk.
Garis wajah Evelyn perlahan-lahan berubah, dia menelan ludah dan detak jantungnya berdegup semakin kencang. Teringat dengan aksi malam itu bersama Doni, ketika menyadari ikan milik Doni mati dan Doni memilih menukarkannya dengan ikan Bayu, dengan berdalih...
“Bayu tidak becus merawat ikanku. Jadi dia harus bertanggung jawab.”
“Apa?” Evelyn berusaha tetap terlihat tenang. Meski tidak demikian.
“Soal ikan Bayu yang mati itu.”
Beberapa jenak, Evelyn terdiam, dia bingung harus bereaksi apa. Evelyn kembali menelan ludah, dia tidak mau terlihat mencurigakan di depan Ameta. “Bicara apa kamu? Aku tidak tahu apa-apa.” Evelyn menghempaskan tangan Ameta yang mencengkeram kuat pergelangan tangan kirinya, namun tidak semudah itu, justru tenaga Ameta semakin kuat mencengkeram dan membuat Evelyn kesakitan. “Lepaskan!”
“Hei!” Tiba-tiba Doni muncul dari pintu sambil berteriak ketika mendengar teriakan Evelyn. Laki-laki itu berlari menghampiri Evelyn, menarik paksa tangan Evelyn hingga terlepas dari cengkeraman Ameta. “Kau ini kenapa?!”
“Kalau kalian berdua tidak bicara jujur, pihak Home School tidak akan berhenti menghukum kita.” Ameta berkata dengan skeptis, terdengar datar namun penuh dengan peringatan sekaligus ancaman. Sorot matanya semakin tajam menatap Evelyn dan Doni bergantian.
Hingga akhirnya Ameta melangkah pergi meninggalkan mereka berdua yang masih termangu di ruang pertemuan. Perkataan Ameta berhasil membuat mereka berdua membeku, tubuhnya seperti mati rasa.
Mereka tidak tahu harus melakukan apa, selain saling melemparkan tatapan. Bahkan mereka bingung, mengapa Ameta bisa tahu rahasia yang disimpan rapat-rapat dan menganggap semua sudah selesai, saat Bayu mendapat hukuman.
***
Keesokan harinya.
Ternyata Dewi Fortuna sedang mendukung cuaca pagi ini. Tidak begitu panas untuk olahraga. Tapi justru para siswa-siswi sudah terkapar lemah ketika mereka baru saja selesai berlari lima putaran tanpa henti dan tanpa menenggak air.
“Baik, karena kalian belum berkeringat, sekarang kalian semua push up.” Perintah Mr. Tedi betul-betul membuat mereka ternganga tak percaya.