Pintu ruang detensi terbuka dan menampakkan Bayu yang baru saja melangkah keluar dengan senyuman semringah tersungging di bibirnya. Wajahnya setengah menunduk itu terlihat berseri-seri dan jari-jemarinya meremas sapu tangan. Rasa bahagia bisa terbebas dari kurungan tidak bisa Bayu sembunyikan.
Pagi ini, dia bisa merasakan udara kebebasan yang sangat harum dan segar. Suara cicit burung beradu dengan semilir angin terasa sejuk dan merdu, memanjakan indra pendengaran laki-laki itu. Seolah memeriahkan kebebasan Bayu.
Dia baru saja melangkah menelusuri sisi bangunan Home School untuk menuju ruang pertemuan dan bertemu dengan teman-teman. Namun, langkahnya berhenti tepat di persimpangan tikungan sewaktu Doni dan Evelyn tiba-tiba muncul dan menghadangnya di depan.
Bayu semakin menunduk, dia hendak melangkah ke arah samping—menghindar dari hadangan Doni dan Evelyn—tapi justru mereka berdua kembali menghadang langkah Bayu.
Di tatapnya Doni dan Evelyn beberapa detik sebelum akhirnya Bayu kembali menunduk. “B—Bayu mau lewat. Permisi.”
“Sebentar,” Doni menahan bahu Bayu agar diam di tempat. Laki-laki itu menatap Evelyn yang juga sedang menatapnya dan kembali berpaling menatap Bayu. “Kami ingin mengatakan sesuatu.”
Bayu melangkah mundur, menjaga jarak. Masih enggan menatap sang lawan bicara.
“Itu ... aku minta maaf, ya.” Terdengar penyesalan dari intonasi suara rendah Doni. Laki-laki itu mengusap tengkuknya dan meringis, melirik Evelyn.
Sementara Bayu hanya mengangguk cepat, sebagai jawaban.
Hening beberapa detik.
Evelyn mengernyit. “Hanya begitu?”
“I—iya ...,” Bayu menyunggingkan senyumnya. “Hanya begitu.”
“Kamu memaafkan kami, kan?”
Doni berpaling menatap Evelyn.
Bayu mengangguk dihiasi senyuman sumir. “Master Jason pernah berkata, meminta maaf adalah langkah pertama untuk merenungi kesalahan seseorang. Tapi yang lebih penting adalah ... apakah mereka akan membuat kesalahan yang sama setelah itu atau tidak?
“Jika mereka melakukannya, berarti mereka belum merenungi kesalahan mereka.”
Doni terkejut mendengar perkataan Bayu, jakunnya naik turun menelan ludah. Dia melirik Evelyn yang juga sedang meliriknya. Ada desiran hangat menyentuh dada keduanya, perasaan rasa bersalah yang berhasil membuat mereka bungkam dan malu untuk berkata lebih selain meminta maaf.
Hingga tiba-tiba terdengar suara lonceng menggema dan menyita perhatian Bayu dan Evelyn, kecuali Doni yang masih menatap lekat Bayu.
Di mohon perhatiannya untuk siswa-siswi GEN7 harap berkumpul di ruang pertemuan sekarang.
Bayu menipiskan bibirnya dan mengangguk, sebelum akhirnya melangkah meninggalkan Doni dan Evelyn yang masih membatu dan memandangi punggung Bayu yang semakin menjauh.
***
Desir semilir angin berembus halus menerobos masuk dari pintu yang terbuka, menyentuh kulit para siswa-siswi dengan lembut. Degup jantung berdetak kencang dan rasa penasaran membubung di udara menguasai isi kepala mereka.
“Mengapa Ms. Naomi memerintahkan kita berkumpul di sini?” Fahira bertanya pada Mikayla yang duduk tepat di sebelahnya.
Gadis itu mengedikkan bahu, tidak tahu. “Iya, ya.” Dia menatap teman-temannya satu per satu yang juga sedang menatapnya. “Ada yang melakukan sesuatu lagi?”
Ameta menggeleng. “Aku pun tidak tahu.”
Perkataan mereka terinterupsi ketika suara derap kaki menggema memasuki ruang pertemuan, refleks pandangan mereka tertuju ke sumber suara dan menampakkan seluruh Mr dan Ms memasuki ruang pertemuan. Berdiri mengelilingi mereka dengan kedua tangan di depan perut.
Mereka dibuat semakin terheran-heran ketika melihat para petinggi Home School berkumpul di ruang pertemuan. Mereka saling melirik satu sama lain, bertanya-tanya dalam diam.