Jam pelajaran siang ini baru saja selesai. Kebetulan jam pertama yang mengisi pelajaran adalah Ms. Popi—yang juga merangkap guru seni musik. Siswa-siswi diberi waktu tiga puluh menit untuk beristirahat sebelum jam pelajaran selanjutnya dimulai.
Sementara Ameta diperintahkan Master Jason untuk menghadap ke ruangannya segera.
Ameta bergegas keluar dari ruang pertemuan, berjalan menuju ruang Master Jason. Pintu itu terlihat tertutup rapat, awalnya Ameta ragu untuk masuk ke dalam sana. Tapi jika tidak memenuhi perintah, dia takut terkena hukuman karena dia baru saja ditunjuk jadi ketua kelas. Alhasil, Ameta memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu perlahan.
Terdengar suara sahutan dari dalam mempersilakan Ameta untuk masuk.
Gadis itu memutar kenop pintu dan tidak dikunci. Perlahan daun pintu itu terkuak sedikit demi sedikit, diiringi langkah kaki Ameta perlahan masuk ke dalam dan menjulurkan kepalanya lebih dulu untuk melihat keadaan sekitar. Terlihat Master Jason duduk di kursi singgasananya dengan meja besar tepat di hadapannya.
Ruangan yang semalam Ameta lihat remang-remang, kini terlihat jelas. Ruangan itu sangat bersih dan rapi, tidak terlalu luas untuk ukuran ruangan Master Jason. Ada pintu di sebelah kanannya yang menghubungkan dengan ruangan samping—mungkin tempat tidur Master Jason—atau sebuah ruangan peristirahatan beliau. Di sebelah kirinya terdapat sofa dan meja kayu jati berwarna cokelat tua, di atas meja terdapat keyboard komputer yang tersambung dengan televisi LED 32inch yang tertempel di tembok.
Ameta tersenyum kikuk, menganggukkan kepala. Sebelum akhirnya melangkah masuk mendekati Master Jason yang tidak lepas menatap lekat Ameta. Terasa aneh dan cukup mengintimidasi.
“Selamat siang, Master Jason.” Gadis itu berdiri tepat di hadapan Master Jason, membungkuk setengah badan sebagai penghormatan.
Master Jason mengangguk. “Selamat siang, Ameta.”
“Em ... maaf, Master ... kalau boleh saya tahu, tujuan saya dipanggil ke sini, untuk apa, ya?” Intonasi suara Ameta terdengar sangat rendah bahkan nyaris tidak terdengar.
Master Jason menghela napas, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan kedua tangannya dilipat di depan dada. “Saya mengundang kamu ke sini, hari ini, karena saya ingin bicara padamu.”
Ameta mengernyit heran. “S—soal?”
“Tentang tugasmu sebagai ketua kelas.”
Ameta menelan ludah. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat dari ritme biasanya.
“Mulai sekarang kamu harus membantu semua Ms dan Mr, begitu juga saya. Untuk mengawasi teman-temanmu dan memastikan mereka mematuhi peraturan. Selain itu, kamu juga harus bekerja untuk menjaga agar Home School tetap teratur bersama Mr. Lucky.”
Ameta terperangah.
Dia tidak menyangka dapat tugas seberat ini. Ternyata menjadi ketua kelas tidak semudah yang Ameta bayangkan, bukan hanya mengoordinasikan kegiatan kelas atau menyampaikan tugas dari guru ke teman-teman ketika guru berhalangan datang. Atau juga menjaga kedisiplinan dalam kelas agar tidak membuat onar.
Tapi justru nyatanya lebih berat daripada demikian. Mendapat perintah untuk menjaga Home School tetap teratur sepertinya terdengar berat dan Ameta tidak yakin bisa melakukan itu sendirian, meski nyatanya dibantu Mr. Lucky. Tapi itu tidak mungkin sepenuhnya.
Melihat Ameta terdiam dengan garis wajah kebingungan. Akhirnya Master Jason menghela napas. “Ada yang mau ditanyakan, Ameta?”
Lamunan Ameta terpecah. “Mengapa memilih saya menjadi ketua kelas?” Pertanyaan refleks spontan yang bercokol di kepalanya sedari kemarin akhirnya terealisasikan untuk ditanyakan langsung di depan Master Jason.
Master Jason terdiam sejenak. Terlihat jakun yang dibalut kulit leher yang sudah keriput itu naik-turun. “Karena kamu mengingatkan saya pada seseorang di masa lalu.”
Ameta mengernyit heran. “Siapa?”
“Dia seniormu di GEN2. Namanya ... Alex. Alexandre Damas. Orang yang kamu tanyakan semalam, tepat di depan ruangan ini. Dan satu-satunya foto siswa yang terpajang di ruangan saya.”
Ameta menelan ludah, refleks pandangannya melirik foto laki-laki yang terpajang di atas rak buku di belakang Master Jason.
Mendadak detak jantung Ameta berhenti sepersekian detik dan diganti dengan degup jantung yang semakin tidak terkendali. Tenggorokannya seolah tercekal kawat berduri hingga terasa sakit ketika ludah yang dia telan mengaliri kerongkongan.
“Dia juga ketua kelas sama sepertimu. Kebetulan kamu dan Alex banyak kesamaan.”
“Lalu ...,” Ameta berpaling menatap tajam Master Jason. “Di mana dia sekarang? Bekerja atau belajar di tempat lain? Saya ingin bertemu dengannya.” Ameta akhirnya buka suara, dia berusaha tenang agar terlihat biasa saja di depan Master Jason.
“Suatu hari nanti, kamu pasti akan bertemu dengannya. Dan saya rasa, Alex juga ingin bertemu denganmu.”
Ameta lagi-lagi dibuat bungkam. Dia tidak tahu lagi harus merespons apa, dia tidak tahu harus bertanya apalagi. Sedangkan yang menjadi pertanyaan utamanya saja masih mengambang tanpa jawaban.
***
Para siswa-siswi berjalan sempoyongan keluar dari kamar masing-masing ketika mendengar pengumuman dari Ms. Naomi untuk segera berkumpul di ruang pertemuan tepat di pukul sebelas malam.
Dengan baju tidur yang sama melekat di tubuh mereka, bahkan Yugo tidak sadar masih memeluk gulingnya dan dibawa ke ruang pertemuan. Sementara Vicko memejamkan mata seperti seseorang mengalami sleepwalking dan berpegangan erat pada bahu Vicky, mempercayakan kembarannya itu untuk membawanya dengan selamat sampai ruang pertemuan. Sedangkan yang lain tidak hentinya menguap dan garuk-garuk kepala.
Nyawa mereka belum sepenuhnya terkumpul.
Master Jason dan Ms. Naomi memandang siswa-siswi satu per satu saat mereka memasuki ruang pertemuan dan mulai duduk di kursi dengan mata yang setengah terbuka.
Setelah semuanya duduk. Master Jason menghela napas, menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatap siswa-siswi satu per satu.
“Selamat malam semuanya, mohon maaf saya sudah mengganggu istirahat kalian. Tapi, perlu kalian tahu, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan pada kalian.”
Semua terdiam. Mendengarkan, meski ada beberapa lebih memilih memejamkan mata antara sadar dan tak sadar.