“Mengapa harus saya?” Suara seorang laki-laki itu bergetar, sepasang mata cokelatnya terperangah dan tidak hentinya dia menanyakan kalimat itu berkali-kali pada Master Jason.
Master Jason mengernyitkan dahi. “Itu tugas kamu sebagai ketua kelas di GEN2. Kamu harus tahu, Alex, bahwa saya memiliki harapan yang tinggi padamu.”
Alex menggelengkan kepala, tidak setuju. “Tapi yang Master perintahkan agar saya lakukan itu tidak benar!”
Master Jason menarik senyumnya menyeringai, alisnya terangkat. “Terkadang, kita harus melakukan sesuatu yang tidak benar untuk mengubah sesuatu—”
“Dengan cara saya untuk membunuh seseorang?” sela Alex dengan intonasi suara meninggi. Dia tidak sadar telah meninggikan suaranya di hadapan Master Jason, tapi dia juga tidak habis pikir dengan perintah Master Jason yang betul-betul tidak masuk akal dan jauh dari kata “Normal”.
Master Jason terdiam. Sorot tajam dari kedua bola matanya menusuk kedua bola mata Alex, sebelum akhirnya Master Jason bangkit dari duduknya, berhadapan langsung dengan Alex. Hanya dibatasi dengan meja kerjanya. Garis wajah dingin sekaligus mengintimidasi itu berhasil membuat Alex bungkam dan berkali-kali menelan ludah.
“Kamu harus mengerti, Alex, bahwa yang saya lakukan untuk masa depan semua orang di Home School.”
Alex menggeleng, tidak habis pikir. Untuk kesekian kalinya dia tidak percaya dengan apa yang diperintahkan Master Jason padanya. Bukan sebuah perintah pelajaran, tapi sebuah perintah yang terdengar mengerikan sekaligus keji.
Jelas, dari sudut apa pun yang diperintahkan Master Jason itu tidak akan pernah benar. Tidak akan pernah menjadi tindakan normalisasi jika semua itu menyangkut nyawa seseorang.
Kedua tangan Alex mengepal, dia berusaha kuat untuk tidak melayangkan kepalan tangan itu pada seseorang yang berdiri tepat di hadapannya. Lagi-lagi dia tidak tahu harus melakukan apa selain ... bungkam.
***
Matahari masih bersembunyi malu-malu di balik gumpalan awan putih, suara cicit burung yang masih bertengger di dahan pohon seperti mendendangkan kidung sebagai pengisi keheningan pagi. Master Jason sedang berdiri di teras Home School yang menghadap langsung ke sebuah halaman luas dengan pohon angsana yang berdiri kokoh dan dedaunan pohon itu silih berganti berjatuhan tertiup angin.
Suara ketukan high heels yang mendekat memecahkan lamunan Master Jason yang teringat percakapan masa lalunya dengan Alex. Master Jason menoleh ke sebelah kanan—ke arah sumber suara—dan menemukan Ms. Naomi berjalan mendekat dengan tergesa-gesa.
Ms. Naomi membungkukkan setengah tubuhnya ketika sudah berdiri tepat di samping Master Jason. “Saat ini, Ms. Hana sudah melakukan tugasnya untuk para siswa-siswi menulis surat kepada keluarga masing-masing. Semua berjalan seperti yang Master Jason harapkan.”
Master Jason menganggukkan kepala. Berpaling lurus ke depan, menatap pohon angsana. “Saya harap mereka senang dengan apa yang sudah diperintahkan.”
Ms. Naomi mengangguk. “Master Jason ... saya diberitahu oleh Mr. Lucky bahwa, kondisi Alex tadi malam sangat mengkhawatirkan. Saya pikir kita harus—”
“Masalah kondisi Alex, saya sendiri yang akan menanganinya ...,” Master Jason menghela napas. Kedua tangannya di belakang punggung.
“Master Jason, tolong jangan lupakan bahwa tempat ini Home School ... bukan rumah sakit.”
Refleks Master Jason berpaling menatap Ms. Naomi dengan sorot mata tajam sekaligus dingin. Berhasil membuat Ms. Naomi tersentak dan kemudian menganggukkan kepala. Sebelum akhirnya melangkah mundur perlahan dan berbalik, meninggalkan Master Jason dengan perasaan cemas, bimbang dan ... khawatir.
***
“Siapa yang mau pulang?”
Mereka semua mengangkat tangan kanan ketika Ameta bertanya demikian.
Sekarang mereka sedang berdiskusi di ruang pertemuan, ketika jam pelajaran Ms. Hana telah usai dan mereka diberi waktu tiga puluh menit untuk istirahat.
“Kalau semua ingin pulang, bagaimana kita memilihnya, Meta?” tanya Alin yang sedang menyandarkan punggungnya di kusen jendela kaca yang terbuka, menatap temannya satu per satu.
Ameta menghela napas. “Aku sarankan pilih satu orang yang punya alasan terbaik untuk pulang lebih dulu. Dan mereka yang tidak mendapatkan kesempatan kali ini, bisa menunggu waktu berikutnya.”
Mereka saling menatap satu sama lain, menunggu siapa yang lebih dulu buka suara.
Sebelum akhirnya Fahira mengangkat tangan. “Aku ingin pulang menemui ibuku. Aku tidak terlalu sehat, kalian semua bisa melihatnya.” Fahira menatap temannya satu per satu dengan sorot mata sendu. “Kalau aku bisa bertemu ibuku, aku akan jadi lebih baik.”
Ameta terdiam, menganggukkan kepala. Sementara temannya yang lain saling melirik melempar tatapan diiringi helaan napas panjang.
Tidak ada suara. Hening. Hingga Doni memecahkan keheningan yang semula tercipta dengan gebrakan meja, berusaha mencairkan suasana yang terkesan menegang.
Seluruh pasang mata tertuju ke arahnya.
Laki-laki itu bangkit dari duduknya. “Atau begini saja deh, kalau tidak ada yang bisa memilih ...,” Doni melangkahkan kakinya, mengitari teman-temannya. “Kita tanding saja. Yang lemah kalah. Selesai.” Dia menjentikkan jari, seolah sebuah ide cemerlang terbesit dalam kepalanya. “Segampang itu.”
Mendengar ungkapan itu rasanya seperti petir di siang bolong. Mikayla menggeleng, tidak setuju. Dia menarik punggungnya yang bersandar di tembok. Menghampiri Doni. “Aku rasa itu tidak adil—”
“Kok bisa tidak adil?” Doni mengernyit heran, menatap Mikayla. “Justru itu cara paling adil.”
“Karena laki-laki dan perempuan tidak dilahirkan sama, pertandingannya tidak akan adil,” gadis itu berdiri tepat di hadapan Doni dengan kedua tangan dilipat di depan dada. “Setiap orang pandai dalam hal yang berbeda. Kau tidak bisa membuat perempuan kecil melawan laki-laki besar.
“Atau seseorang yang payah berhitung bertanding dengan si Jenius Matematika. Itu tidak adil!”
Doni menghela napas, berkacak pinggang. Mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tidak bisa melawan perkataan Mikayla yang memang terbukti benarnya. Dia hanya menggeleng dengan senyuman menyeringai tertarik di ujung bibirnya.
Sementara yang lain mengangguk setuju mendengar persepsi Mikayla soal ide bodoh Doni.
***
Vicko melompat dari ranjangnya menginjak lantai tiba-tiba tanpa aba-aba dan menghasilkan suara seperti benda berat jatuh ke permukaan tanah, membuat seluruh penghuni kamar para laki-laki terperanjat kaget. Apalagi Yugo yang sudah terlelap tidur, refleks melompat sampai bokongnya menghantam marmer terasa begitu sakit.
Dia meringis, melemparkan tatapan tajam pada Vicko. “Sialan kau!” Yugo melempar Vicko dengan bantal dan refleks Vicko menangkap bantal itu sebelum terkena wajahnya.
“Hei teman-teman ... dengar, ya!” Laki-laki itu merentangkan tangannya ke depan, menatap temannya satu per satu dengan sorot mata serius bahwa interupsinya kali ini tidak main-main. “Kalian ... mau pilih siapa?”