Untuk, Ibuku tersayang...
Saya ingin pulang, Bu. Tempat ini gila. Saya ingin pulang ke rumah, tempat ini tidak mengajarkan apa pun. Mereka hanya menghukum saya. Tidak ada kelas. Mereka menyuruh kami berlari setiap pagi entah untuk apa. Apakah Ibu tidak meminta mereka menyiapkan makanan favorit saya?
Beberapa makanan di sini rasanya biasa saja. Yang lain justru tidak enak. Mereka mengambil telepon saya. Bisakah Ibu datang menjemput saya? Saya tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Saya bisa saja mati kalau harus tetap tinggal di sini...
Fahira menghela napas panjang, mengusap hidungnya ketika cairan keluar dari lubang hidung itu. Dia menatap lekat surat itu—surat yang dia tulis untuk dikirimkan ke Ibunya—dengan harapan apa yang dia tulis di sana, Ibunya bisa mengerti dan mengabulkan permintaannya.
Gadis itu berpaling menatap lurus ke depan, dengan pandangan kosong namun kepalanya penuh berbagai bayangan yang memenuhi memorinya. Dia memejamkan mata, mengingat lebih dalam bagaimana kali pertama dia berhasil mendapat piala dari lomba melukis ketika duduk di bangku SMP.
Kala itu, Fahira sangat gembira karena berhasil membawa pulang piala juara satu melukis tingkat nasional. Dia bangga pada pencapaiannya dan dia yakin juga, kalau sang Ibu ikut memeriahkan kemenangannya.
“Ibu ... saya pulang.” Fahira melepas sepatunya, menyimpan di rak. Dia berjalan riang-gembira dengan senyuman terukir indah di bibirnya. Menghampiri sang Ibu di ruang televisi yang tengah sibuk dengan benda tipis di tangannya. Bahkan, saat Fahira duduk di sebelahnya, sang Ibu belum juga menegurnya.
“Ibu ... hari ini saya juara kompetisi ...,” Fahira tersenyum lebar, dia menunjukkan piala yang dia genggam. “Lihat, Bu, saya berhasil mendapat juara satu.”
Tidak ada respons sama sekali. Sang Ibu justru menempelkan benda tipis itu di telinga dan menerima telepon masuk di ponselnya. Bahkan tidak menganggap Fahira yang dengan riang ceria membanggakan hasil dari kerja kerasnya.
“Partner kita bilang apa? Tidak bisa begitu!” Sang Ibu bangkit dari duduknya, dengan penuh emosi berbicara dengan seseorang di seberang telepon sana.
Sementara Fahira hanya mengernyit heran. Dia berusaha membujuk Sang Ibu supaya melirik sedikit saja ke arahnya dan sekadar memberi ucapan selamat dari apa yang sudah Fahira capai. Gadis itu menyentuh tangan Sang Ibu, menarik lengan itu.
“Ibu ... hari ini saya memenangkan juara pertama.” Sang Ibu hanya melirik, dengan isyarat jangan mengganggu. Namun, Fahira bersikeras untuk membagi kebahagiaannya dengan Sang Ibu. “Ibu ... lihat piala ini. Saya berhasil, Bu. Nanti lukisan saya akan dipajang—”
Sang Ibu menurunkan tangan, menutup layar teleponnya. “Fahira ... sudah Ibu beritahu berapa kali padamu, jangan ganggu Ibu kalau Ibu sedang ada panggilan telepon kerja!” Lantas Sang Ibu melangkah pergi, meninggalkan Fahira sendirian di sana.
Rasa bahagia yang semula tercipta tiba-tiba berganti menjadi kecewa yang amat dalam. Bahkan sakit hati dengan perlakuan Sang Ibu yang justru malah memarahinya, bukan memberi ucapan selamat apalagi memeluknya bangga.
Fahira menundukkan kepala, menatap lekat piala yang dia genggam. Tiba-tiba bibirnya mengerucut kesal, dia menggenggam erat piala itu dan meletakkan ujung piala yang terbuat dari kaca transparan tebal namun runcing ke pergelangan tangan kirinya. Tanpa pikir panjang, dia justru merobek pergelangan tangan kirinya hingga darah segar seolah menyembur keluar dan mengenai baju seragamnya.
“Ibuuuu ....” dia menangis. Membanting piala itu ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Suara teriakan dan tangisan Fahira berhasil menarik perhatian Sang Ibu berlari ke arahnya dengan panik.
Sang Ibu terbelalak ketika melihat darah segar mengalir deras dari pergelangan tangan Fahira. “Kenapa bisa begini? Kamu tahan dulu darahnya, Ibu akan segera ambil perban!” Sang Ibu berlari menuju kotak obat yang tertempel di dinding yang jaraknya lumayan jauh dengan Fahira duduk.
Sementara gadis itu, tangisan yang semula terukir berganti menjadi senyuman menyeringai penuh kepuasan. Mungkin, jika dengan cara menyakiti diri sendiri bisa membuat Fahira mendapatkan sedikit perhatian dari Sang Ibu, Fahira rela untuk menyakiti dirinya seperti ini demi mendapatkan itu.
Fahira membuka mata. Dia menghela napas panjang, mengingat kejadian yang membuatnya berhasil mendapat perhatian dari Sang Ibu meski harus bertaruh nyawa. Dia rindu dengan Ibunya, dia ingin memeluk erat Sang Ibu dan bercerita panjang lebar dengan apa yang dia rasakan selama terperangkap di dalam jeratan peraturan Home School yang tidak masuk akal.
Dia menutup kembali suratnya, diselipkan ke dalam bantal dan kemudian menindihnya dengan kepala. Dia berbaring menghadap kanan, dengan segala pemikiran dan harapan. Semoga saja, dengan caranya seperti ini, bisa menarik perhatian orang-orang dan memilihnya untuk pulang.
***
Sesuai aturan Home School ke empat, setiap hari Sabtu dan Minggu para siswa-siswi harus memasak makanan untuk mereka sendiri. Seperti halnya pagi ini, setelah mereka selesai olahraga, Bayu dan Vicky melipir ke dapur untuk membuat beberapa makanan untuk mereka santap.
Vicky sedang mengaduk tepung terigu yang sudah dicampur dengan air dan beberapa bahan lain di dalam sebuah mangkuk berukuran besar. Sementara Bayu tengah memotong sayuran.
“Bayu ... setelah tercampur rata seperti ini, lalu bagaimana?”
“Tunggu aku selesai memotong sayurannya. Nanti campurkan dengan tepung yang sudah kamu aduk.”
Mereka berencana membuat okonomiyaki dari resep yang sudah Bayu pelajari dan praktikan ketika dia masih di rumahnya.
Vicky mencibir, mengangguk. “Ya sudah, kalau begitu aku mau siapkan untuk membuat nasi goreng.” Vicky menyimpan mangkuk tepung itu di dekat Bayu.
Bayu mengangguk. Tatapannya fokus pada sayuran yang dia potong, sementara Vicky melangkah menuju kulkas untuk mengambil bahan-bahan yang akan menjadi pelengkap nasi goreng.
Suara derap kaki terdengar menggema memasuki dapur. Refleks pandangan Bayu dan Vicky terpusat ke arah sumber suara dan menampakkan Fahira yang datang dengan menyunggingkan senyuman tipis.
“Bayu, Vicky ... boleh aku meminta sesuatu pada kalian?” Fahira melipat bibir ke dalam. Dia berhenti tepat di samping kulkas.
Vicky membenarkan posisinya, dia berdiri tegak, menatap Fahira. “Iya, kenapa?”
Fahira mengusap tengkuk. “Hari ini aku merasa tidak sehat. Aku hampir tidak bisa menelan makanan ...,” dia menelan ludah dengan ekspresi wajah seolah menahan sakit di tenggorokannya. “Apakah Bayu dan Vicky bisa membuatkanku sesuatu yang ringan untuk bisa aku makan?”
“Em ...,” Vicky mengangguk. “Tentu saja. Kamu tunggu saja di sana bareng yang lainnya. Nanti aku siapkan untukmu.”
Vicky kembali menjelajah kulkas, mengambil bahan-bahan di dalam sana. Sementara Bayu memasukkan sayuran yang sudah selesai dia potong ke dalam mangkuk tepung yang semula diaduk oleh Vicky.
“Em ... ada yang bisa aku bantu?” tanya Fahira.
“Hm?” Vicky yang sedang berjongkok, mendongak, menatap Fahira. “Oh, tidak usah. Kami bisa melakukannya sendiri.”
“Tapi ... aku merasa tidak enak.”
Vicky berdiri, menutup pintu kulkas dengan kakinya. Kedua tangannya penuh dengan bahan-bahan yang akan dia gunakan untuk nasi goreng. “Ya sudah kalau itu maumu. Bisa kau potong bahan-bahan ini untuk nasi goreng?”
Fahira menyunggingkan senyum lebar, menganggukkan kepala. “Tentu saja.”
Sementara Bayu melangkah menuju kompor. Tangannya bergerak mengambil teflon yang tergantung di atas wastafel—tepat di samping piring yang tersusun—meletakkan teflon itu di atas kompor. Sedangkan Vicky menghampiri Bayu, menuangkan minyak goreng sedikit demi sedikit ke atas teflon.
“Apakah segini cukup, Bayu?”