Mel mengetuk-ngetukkan pena berwarna keemasan ke keningnya. Tagihan-tagihan yang sekarang terpapar di meja sebenarnya tidak masalah sama sekali. Pemasukan kantor notarisnya lumayan. Meskipun baru berjalan tiga bulan. Dan lagi Mamanya sudah siap untuk meng-handle pengeluaran apa saja. Demi berlangsungnya karir anak sulung yang dikasihinya itu. Tapi tetap saja menyita waktu juga untuk meneliti dan membereskan semuanya.
“Bu Mel, ada tamu,” sekretarisnya-Sisi- mengejutkan perempuan tiga puluh tahun-an itu dari lamunan.
“Siapa?” sembari membereskan berkas-berkas di meja, Mel bangkit dari kursinya.
“Tamu lelaki yang biasanya. Pak Rudi? Benar ya bu?” kening Sisi berkerut.
“Oh….suruh masuk saja ke dalam,” Mel bergegas merapikan setelan bajunya.
Bibirnya merekah saat lelaki yang merebut perhatian dan hatinya beberapa bulan terakhir ini berada di pintu ruangannya.
“Tumben tidak pakai nelpon dulu,” Mel menerima uluran tangan Rudi.
“Maaf tadi tidak sempat. Terburu-buru,” Rudi membalas sambutan Mel dengan mencium punggung tangannya yang lembut.