1 Juni 2015
Hari ini Sandy memeriksa kembali isi tasnya yang akan ia bawa pulang ke Jakarta. Beberapa buku kuliah, novel To Kill a Mockingbird, beberapa komik kesukaanya, majalah dan tak lupa gitar pemberian ayahnya. Semua itu adalah benda kesayangan Sandy kecuali, ya tentu saja buku kuliah dan novel, karena Sandy bukan mahasiswa yang hobi membaca, khususnya novel, jangankan novel, buku kuliah saja tidak akan ia buka jika tidak sedang dekat ujian semester ataupun tugas presentasi didepan kelas.
Dan ia seperti terpaksa membaca novel To Kill a Mockingbird hanya karena dosennya bu Ida menyuruh semua mahasiswanya untuk membaca novel tersebut karena merupakan referensi dunia hukum yang menarik baik dari segi fiksiataupun penggambarannya mengenai hukum yang dinilai paling relevan dengan yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1920-an dan yang sedang terjadi di AS pada saat ini apalagi kalau bukan mengenai prasangka dan perlakukan yang berbeda terhadap warga kulit hitam atau kaum minoritas. Tetapi Sandy curiga itu hanya akal-akalan bu Ida saja agar mahasiswanya punya kerjaan lain selain menghabiskan waktu liburan dengan bersenang-senang pada liburan semester kali ini.
Dan ketika semua barang yang diperlukan sudah masuk kedalam tas ransel besar, hal yang dilakukan Sandy adalah tinggal menelepon teman-teman dekat sekolahnya dulu ketika di SMA. “Hei Van, udah sampai Jakarta belum?” sapa Sandy dengan semangat setelah lama tak bersua.
“Masih di kereta nih gue, biasa nyampe rumah paling sore, itu kalau enggak macet loh,” jawab Kevan yakin.
Menangkap ada kalimat yang salah, Sandy berusaha meledek. “Lu kira naik kereta bisa macet, memang kereta udah enggak lewat rel lagi bisa macet?”
“Maksud gue dari stasiun ke rumah, kayak enggak tahu jalanan Jakarta aja,” jelas Kevan sambil merengut.
“Gimana, besok rumah lu bisa dijadiin tempat ngumpul kan.”
“Besok banget gitu? Enggak istirahat dulu barang sehari, dua harilah. Lu tahu kan kalau gue pulang kerumah, bokap pasti tanya-tanyamasalah kuliah dan bla bla bla..., paham kan maksud gue?” ternyata papa Kevan memang belum berubah, Sandy cukup mengenalnya.
“Oke deh, selamat bla bla bla sama bokap lu kalau begitu. Sampai ketemu kamis yah, hati-hati didalam kereta.”
“Hati-hati kenapa?” tanya Kevan tidak paham.
“Sama copet.”
Kevan tertawa begitu juga dengan Sandy. ”Memangnya dikereta ekonomi,” dan telepon keduanya ditutup bersamaan.
Itulah pembicaraan singkat Sandy dengan Kevan teman sekolahnya dulu. Mereka berdua sekelas dari kelas satu sampai kelas dua SMA, sayangnya di kelas tiga mereka tidak lagi satu kelas karena mengambil jurusan yang berbeda. Kevan sekarang kuliah di Jogja, kota yang katanya dijuluki kota budaya, kota pelajar, kota keraton dan kota gudeg, julukan yang terakhir tentu saja Sandy setuju, karena cuma di kota Jogja Sandy bisa menemukan menu gudeg hampir disetiap rumah makan dari yang sederhana sampai yang besar. Kalau julukan kota budaya, kota pelajar dan kota keraton, barangkali Jogja punya saingan.
Kevan kuliah di UGM, salah satu Universitas terbaik di Indonesia, atau begitulah menurut anggapan ayahnya. Sebenarnya dia tidak begitu tertarik kuliah disana apalagi jurusan yang diambilnya sekarang, Teknik Elektro, semua itu adalah skenario ayahnya, begitupun ketika dulu ia masuk jurusan IPA. Sebenarnya Kevan lebih menyukai pelajaran sejarah dan bahasa, ia juga pandai bermain musik, kadang ia sering menjadi partner duet bernyanyi Sandy. Dan Kevan juga sangat suka membaca buku, mungkin ketika liburan Kevan akan berbaik hati membaca buku To Kill a Mockingbird kemudian merangkumnya, sehingga Sandy tidak perlu repot-repot menangkap isi cerita dari novel yang tebalnya lebih dari tiga ratus halaman tersebut.
Setelah menelpon Kevan, Sandy langsung menekan nomor lain dan menunggu seseorang segera mengangkat teleponnya. Tak lama terdengarlah suara yang tidak asing baginya. “Halo Sandy, disini Patrick, ada yang bisa saya bantu?” kemudian terdengar bunyi tawa dari ujung teleponnya Sandy. Ia sudah hafal dengan gurauan temannya yang satu ini, karena hanya dia yang selalu membuat suasana menjadi ramai serta menjadi bahan candaan temannya yang lain, ditambah dengan rayuan manisnya terhadap perempuan.
“Apakah Patrick sudah siap kembali ke habitatnya?” balas Sandy meladeni gurauan Patrick alias Anwar.
“Kemana? Dasar laut.”
“Bukan tapi ke bulan, ya jelas ke rumah lu di Jakarta. Emang lu enggak kangen sama kedua orang tua tercinta?” tanya Sandy dengan serius.
“Kalau itu enggak usah ditanya, jelas gue udah kangen berat. Udah lama gue enggak ketemu ibu tercinta,” kalau perihal pujian terhadap wanita, Sandy lebih hafal lagi sifat Anwar.