4 Juni 2015
Pagi ini Sandy seakan enggan memulai hari. Kata-kata mamanya tadi malam seperti masih terngiang di telinga Sandy. Entah apa yang harus ia lakukan hari ini kepada Natasya. Haruskah ia memohon maaf pada Natasya atas ucapannya semalam dimeja makan? Atau bersikap seperti biasa seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tetapi sebagian dirinya masih berpikir jika saja mamanya selalu terbuka dengan masalah yang ada di keluarga, ia tidak perlu merasa bersalah karena mengucapkan hal-hal yang menyinggung perasaannya.
Namun tadi pagi sebelum berangkat ke kantor ibunya berpesan agar Sandy segera minta maaf dan membayar kesalahan semalam dengan membuat Natasya melupakan perihal ayahnya. Tetapi bukan mengenai minta maaf yang menjadikannya ia resah hari ini tetapi mengenai keadaan ayahnya.
Natasya baru saja kehilangan ibunya dan sepertinya ia juga tahu kalau ayahnya sedang berada ditahanan dalam kasus penyalahgunaan obat terlarang, namun anehnya dari raut wajah dan sikap Natasya kemaren, sepertinya sudah tidak ada lagi raut kesedihan, seakan-akan dia sudah bisa melupakan dan mengikhlaskan kematian ibunya serta kasus yang menimpa ayahnya walaupun sedari kecil jarang sekali bertemu.
Ada rasa penasaran dalam diri Sandy, dan ingin mencari tahu lebih dalam, tetapi lagi-lagi Sandy tidak tahu harus memulainya darimana, lagipula hari ini bukankah saatnya dia bersenang-senang dengan sahabat lamanya yang sudah lama tidak ia jumpai. Tapi mungkin ada satu cara untuk membuat dia dapat bersenang-senang tanpa harus membuat Sandy mengabaikan amanah mamanya.
Tok, tok, tok, Sandy mengetuk pintu kamar Natasya dengan keberanian yang ia miliki. Dan tak lama pintu kamarnya terbuka dan muncul sesosok cewek mungil dengan rambut yang masih berantakan muncul didepan Sandy. “Pagi, kamu lagi sibuk enggak?” Sandy berusaha seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
“Enggak sibuk, ada apa mas memangnya?” jawab Natasya datar.
“Kalau kamu nggak keberatan, aku mau ajak kamu jalan-jalan, bosan kan di rumah terus,” masih berusaha memilih kata-kata yang pas.
Tanpa pikir panjang Natasya menyetujuinya. “Boleh. Kita mau kemana nih?” jawabnya tiba-tiba dengan nada riang. Dan perasaan Sandy berangsur-angsur mulai tenang,
“Ada deh, rahasia, pokoknya aku tunggu di teras ya, lima belas menit dari sekarang.”
“Enggak perlu, cukup lima menit kok, bentar ya,” dan langsung saja pintu kamarnya ditutup dan terdengar bunyi barang-barang bergeser dikamar Natasya, yang memang belum rapih semenjak pindah ke rumah Sandy, bergeser tak tentu arah sampai membuat Sandy geleng-geleng kepala, aneh juga sepupunya yang satu ini, katanya dalam hati. Dan akhirnya satu masalah selesai, walaupun ia tidak tahu mengapa Natasya bersikap biasa saja pagi ini setelah kejadian semalam.
Dan waktu yang dijanjikan Natasya untuk bersiap-siap memang tepat sekali, dia hanya membutuhkan waktu lima menit dengan hanya mengganti kaus polos berwarna cerah dan celana jeans plus satu ikat rambut dikepalanya tanpa riasan apapun diwajahnya. “Beneran kamu mau gitu aja perginya?” tanya Sandy heran sambil melihat dari ujung kaki sampai ujung rambut Natasya.
“Ayo tunggu apalagi,” namun biarpun tanpa riasan sedikit pun Natasya tetap manis dan imut atau setidaknya itu menurut penglihatan Sandy.
*
Mereka pergi berdua dengan menggunakan motor, terlihat rona bahagia terpancar dari keduanya. Tak lama kemudian mereka berdua tiba di rumah Kevan yang menjadi tempat pertemuan Sandy dengan teman-teman SMA-nya.
“Wow, bawa siapa nih San, cewek bandung ya?” ledek Kevan ketika ia melihat Sandy menghampirinya di teras rumah, kemudiamereka berpelukan dengan erat saling menepuk bahu.
“Bukan, kenalin ini Natasya sepupu gue yang tinggal sama gue sekarang,” tak lama kemudian Natasya segera mengulurkan tangan mungilnya. “Panggil aja Tasya,” ketika Kevan ingin melakukan hal yang sama dengan Natasya seperti ia dengan Sandy tadi, Sandy menyergahnya. “Apa-apaan ini, main samber aja,” dan Kevan hanya tertawa ringan. ”Bercanda bro.”
“Gue Kevan, panggil aja Kevan,” akhirnya Kevan hanya mengulurkan tangannya.