9 Juni 2015
Hari selasa ini adalah hari ke delapan Sandy di rumah dan masih jauh dari hari reuni akbar teman-teman seangkatan Sandy ketika di SMA. Ia berusaha mengingat teman-temannya yang lain yang ia kenal selain Joshua, Kevan dan Anwar. Tetapi yang terbayang hanya murid cewek bernama Cindy, cinta pertama Sandy yang bertepuk sebelah tangan. Walaupun wajahnya tidak secantik mantan-mantan Sandy tetapi Cindy terasa spesial karena dia adalah cewek pertama yang bisa membuat pikirannya teralihkan dari rutinitasnya belajar dan bermain.
Bukankah cinta pertama itu sulit dilupakan.
Sesekali dia juga rindu dengan teman sebangkunya waktu berada di kelas tiga, yaitu Agung. Tetapi Agung adalah mantan ketua rohis sehingga dia jarang bergaul dengannya karena Agung orang yang sangat alim dan sering sekali disibukkan dengan urusan rohis dan masjid sekolah, berbeda dengan Sandy yang hanya tiap hari jumat saja sholat di masjid, walaupun sesekali memang dia mengikuti ajakan Agung untuk datang ke acara rohani islam di masjid sekolah selepas sholat jumat.
Tetapi Sandy merasa ada yang kurang jika reuni hanya berkumpul bersama teman-temannya dan belum dilengkapi dengan reuni melihat-lihat sekolahnya dulu. Ada rasa rindu menghampiri Sandy mengingat waktu-waktu yang telah dihabiskan disana cukup lama yaitu lebih kurang tiga tahun.
Sandy rindu berada di lab biologi mengamati serangga yang sudah mati, walaupun sampai sekarang Sandy tak begitu paham apa tujuannya, begitupun yang dilakukannya di lab kimia yang hanya memperhatikan reaksi zat-zat kimia cair bercampur, dan dari mereka berempat hanya Anwar yang melanjutkan penelitian mengenai zat-zat kimia tersebut.
Dan tak lupa Sandy rindu dengan jajanan kantin yang murah meriah, juga kantin sebagai tempat nongkrong di jam-jam pelajaran yang dibenci Sandy seperti Fisika. Dan tak lupa bahwa kantin adalah tempat singgah sebelum bolos dari pelajaran terakhir. Itu bukanlah rahasia umum, hampir separuh siswa kelas tiga khususnya jurusa IPS, pasti pernah mengalaminya.
Jika masa itu bisa terulang kembali, ia tidak tahu apakah akan melakukan kenakalan yang sama lagi atau malah akan memperbaikinya. Namun yang pasti kenangan akan selalu mengingatkan siapa kita sebenarnya dan darimana kita memulai hidup.
10 Juni 2015
Hari ini Sandy malas sekali untuk keluar rumah selain karena cuaca sedang tidak mendukung, dia hanya ingin bermalas-malasan saja di rumah. Dan karena Natasya orang yang tidak bisa diam maka ia mengajak Sandy untuk bermain kartu seharian. Dari sini Sandy sudah bisa menebak kalau Natasya sangat jago bermain kartu, itu dibuktikan dari banyaknya tepung dan jepitan jemuran yang menghiasi wajah Sandy. Mungkin sesekali Sandy perlu mengajak Natasya bermain tinju agar sesekali dia bisa melihat Natasya tak berkutik menghadapi lawan-lawannya, karena dengan tubuh mungil seperti itu tidak mungkin Natasya bisa mengalahkan Sandy. Tetapi niat itu diurungkan, karena ia tidak tahu tipu muslihat apa yang akan direncanakan oleh sepupunya itu. Karena semakin ia mengenal Natasya, semakin banyak hal yang ia tidak tahu.
Sesudah makan siang, Sandy melihat Natasya pergi keluar, ia tidak menanyakan perihal kepergian Natasya karena siang itu ia terlalu ngantuk dan hanya bisa kembali ke kasurnya untuk rebahan. Jelas saja ia sangat mengantuk karena semalam tidur sangat larut sekali. Apalagi kalau bukan memikirkan tentang Cindy, cinta pertamanya. Maka tidur siang kali ini ia berharap akan bermimpi bisa berjumpa dengan Cindy, syukur-syukur bisa berpegangan tangan dengannya.
Ketika tidurnya mulai terlelap, akhirnya Tuhan mengabulkan doanya untuk bisa bertemu dengan Cindy. Disana Sandy dengan jelas bisa melihat senyumannya yang manis diantara pepohonan yang rindang serta daun-daun yang berguguran. Ketika tangan Cindy melambai kepadanya, tentu ia menyambut dengan sukacita, tanpa berpikir lama ia berlari kearah Cindy dan berusaha meraih tangannya. Ketika jari-jari tangan mereka bersentuhan, wajah Sandy makin dekat, disitulah pori-pori wajahnya terlihat jelas, kalau bukan kecantikan alami apalagi namanya.
Ketika tubuh mereka semakin mendekat, ada getaran-getaran yang menghampiri, tentunya genggaman tangan Sandy makin erat, namun kali ini ada sentuhan berbeda yang dirasakan Sandy. Tak lama ia membuka matanya dan terkejut karena wajah Cindy berubah menjadi wajah yang sangat ia kenal belakangan ini, siapa lagi kalau bukan Natasya. Pada akhirnya ia tahu kalau didekat Natasya pasti akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
“Bangun mas, udah sore, pamali loh tidur sore-sore,” tanpa pikir panjang Sandy melemparkan bantal langsung kearah wajah Natasya.
“Ganggu tidur siang orang aja,” raut wajah Sandy sangat kesal. Dengan tampang cemberut ia bangun dan berjalan kekamar mandi untuk cuci muka. ”Awas kalau lu cerita ini ke yang lain yah,” teriak Sandy dari kejauhan dan Natasya hanya bisa tertawa bahagia, sampai-sampai airmatanya keluar tidak karuan.
11 Juni 2015
Hari ini Sandy berusaha untuk mulai membaca buku To Kill a Mockingbird dengan perasaan enggan dan terpaksa, karena dari dulu dia memang sama sekali tidak suka membaca novel, dan menurutnya novel itu diceritakan secara bertele-tele tidak lugas seperti halnya buku nonfiksi. Baru beberapa lembar dia memahami ceritanya, Sandy sudah merasa bosan, lagipula dosennya berkata bahwa buku ini membahas perihal hukum di AS tetapi kenapa dari awal yang dibahas adalah masalah anaknya sang pengacara dengan tetangganya. Sungguh tidak relevan menurut Sandy.
Melihat kebingungan Sandy, Natasya berbaik hati menawarkan bantuan apa yang bisa ia lakukan hari ini, dan Sandy merasa perlu memanfaatkan kebaikan Natasya untuk membantunya membacakan novel itu dan merangkum untuknya. Tetapi baru tiga halaman Natasya membaca novel yang disuruh oleh Sandy, dia langsung merebut kembali novel itu dan menggerutu. ”Kalau kamu bacanya keras-keras, kuping aku bisa-bisa panas sebelum mulut kamu berbusa, emang bacanya nggak bisa dalam hati apa?” omel Sandy.
“Kan biar mas Sandy juga denger jadi bisa tahu ceritanya, soalnya mas Sandy kan katanya tadi males baca bukan males dengerin,” lagi-lagi Natasya terus saja mengerjai Sandy. Dan pada akhirnya Sandy sadar kalau Natasya itu tipe orang yang tidak pernah serius melakukan hal apapun, mungkin itu yang membuatnya malas melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Tetapi kalau Natasya tidak berencana kuliah atau kerja, mau jadi apa dia kedepannya, dan tak mungkin selamanya kerjaannya hanya bermain-main terus tanpa perencanaan. Itulah yang menjadi pertanyaan Sandy sekarang, tetapi ia bingung bagaimana bertanya dengan cara baik-baik agar ia tidak merasa tersinggung.
Dan juga dari pengamatan Sandy selama ini terlihat dari luar Natasya adalah orang yang periang dan senang membantu walaupun dengan caranya sendiri, namun pernah sekali Sandy tak sengaja melihat dari pintu kamarnya yang sedang terbuka sedikit, Sandy melihat Natasya sedang memandangi salah satu foto yang berada ditangannya, dan rautnya wajahnya menampakkan apa yang ditakutkan oleh mamanya bahwa ia menyembunyikan sesuatu.
Sandy yakin itu perihal kematian ibunya dan pertanyaan mengenai keberadaan bapaknya. Ia ingin sekali berusaha menasehatinya tetapi nasehat apa yang dipunya Sandy, sedangkan dia sendiri mengalami pasang surut perihal hubungannya dengan mamanya sendiri. Sesekali Sandy ingin sharing mengenai masalah yang dialami Natasya tetapi masih ragu memulai dari mana, dan juga kapankah waktu yang tepat akan datang, atau inikah waktu yang tepat.
Sandy membuka pintu kamar Natasya dengan pelan, Natasya diam saja melihat sepupunya menghampirinya diujung ranjang tempat tidur. ”Foto siapa ini?” ia merasa asing dengan foto yang sedang dipegang oleh Natasya, sepertinya itu foto lama.
“Ini foto milik ibu, kalau enggak salah sebelum menikah,” Sandy mengamati dengan seksama, dan memang benar dia menemukan mamanya sewaktu muda, mungkin kala itu ia baru menikah dengan ayahnya.
“Ngapain kamu liatin terus,” harusnya bukan itu pertanyaan Sandy.
“Lihat deh mirip enggak aku sama ibu,” ia menyematkan foto itu disamping wajahnya sambil berpose seperti ibunya.
“Enggak, kayaknya lebih cantik tante deh waktu muda,” Natasya mencubit bahu Sandy tanda tak setuju. ”Oh iya kalau enggak salah waktu aku kelas satu SMA kamu sempat tinggal disini juga kan,” Natasya mengangguk. ”Tetapi kenapa cuma sebentar,” tanya Sandy penasaran.
Natasya ingat mengenai hal itu, ingatannya lumayan tajam mengenai peristiwa yang sudah berlalu. ”Iya kalau enggak salah beberapa hari setelah kepergian pakde, ibu tiba-tiba berubah pikiran untuk pindah, kalau enggak salah setelah selamatan tujuh hari ibu menyuruh Natasya untuk mengemasi barang-barang.”
“Kalau enggak salah waktu itu mendadak kan?”
“Iya, soalnya kata ibu biar enggak ngerepotin bude,” jelas Natasya.
“Kenapa mesti ngerepotin,”
“Ibu tahu menjadi single parent itu enggak mudah, jadi ibu enggak mau ngerepotin bude, karena waktu itu ibu belum punya pekerjaan tetap, jadi akhirnya kami pamit,” Sandy merasa itu bukan hal yang merepotkan, padahal jika mereka bisa tinggal disini mungkin saja Sandy tidak begitu kesepian berada dirumah. ”Makanya mas jangan marah-marah terus sama bude, bude itu udah besarin mas seorang diri, apalagi kadang bude juga kirimi uang ke ibu tiap beberapa bulan sekali, jadi jangan bertengkar terus ya,” Sandy merasa sedang diajarkan caranya hidup oleh anak remaja yang baru lulus sekolah. Memang kata-kata Natasya tidak ada yang salah, tetapi kalau harus menuruti semua omongan mama bahkan yang tidak masuk akal sekalipun, maka Sandy tidak perlu melaksanakan nasehat Natasya.
Sandy membiarkan Natasya seorang diri dikamar untuk istirahat. Ia keluar kamar dan berjalan menuju meja makan. Dulu waktu ayah masih ada, mamanya sering membuatkan kue kesukaan Sandy, kalau tidak brownis biasanya mama membuat kue wajik, Sandy suka sekali dengan makanan yang terbuat dari gula merah. Tetapi sekarang kebanyakan makanan yang dimakan Sandy berasal dari tangan orang lain, biarpun terlihat lebih enak namun tetap saja Sandy kangen dengan masakan mamanya.
Sekarang pun jika sedang berada dirumah, mamanya lebih suka membaca buku atau menonton video mengenai perkembangan perilaku masyarakat, ia tidak menyadari bahwa perilaku anaknya sedikit demi sedikit berubah dan butuh perhatian. Dan lagi ada Natasya yang akan hidup bersama dengan mereka, jika mamanya tidak bisa mencurahkan waktu lebih banyak untuk anaknya dan Natasya, untuk apa ia bersikeras membuat Natasya tinggal disini.
12 Juni 2015
Hari jumat akhirnya tiba, Sandy sebenarnya senang karena besok adalah weekend, tetapi bukankah bagi Sandy selama dua bulan ini semua hari adalah weekend baginya. Namun bukan itu yang membuat Sandy senang tetapi karena tadi Kevan menelpon mengajaknya jalan-jalan ke Kota tua dan Monas esok hari untuk memotret keindahan kota Jakarta dari segi sejarah dan langsung dibalas ‘sok sejarahwan lu’ oleh Sandy. Walaupun Sandy tak menampik kalau Kevan sangat menyukai hal-hal yang berbau sejarah.