HOMECOMING

Lucky
Chapter #8

Bab #8

14 Juni 2015

Hari ini Sandy bangun kesiangan, bukan kesiangan seperti biasa tetapi benar-benar siang hari lewat dari jam dua belas. Bahkan Natasya mengaku membangunkannya lama sekali, tetapi karena ia benar-benar terlelap maka kebakaran sekalipun menjadi tak berarti bagi tidurnya Sandy. Jelas saja ia sangat sulit dibangunkan karena kemaren sangat letih berkeliling Jakarta bersama sahabatnya, sebelum benar-benar bangun saja, sudah beberapa kali ia ingin bangun dari lelapnya tetapi matanya menolak untuk dibuka.

Setelah benar-benar bangun, tak banyak yang dilakukan Sandy hari ini, kebanyakan dihabiskan dikamarnya, itupun dengan kegiatan melanjutkan tidur yang menurutnya kurang puas. Padahal sebenarnya hari minggu adalah saat yang tepat menghabiskan waktu bersama mamanya tetapi jarang sekali dihabiskan berdua dengan mamanya, dan itu sudah menjadi kebiasaan sejak SMA.

Ketika papa Sandy masih ada, mamanya adalah guru BP di salah satu sekolah di jakarta. Dengan hari kerja yang tidak terlampau sibuk, Sandy sering sekali bermain dan jalan-jalan bersama mamanya, tetapi semua itu berubah ketika kelas satu SMA papanya Sandy meninggal. Dan sejak itu mamanya adalah kepala keluarga sekaligus tumpuan Sandy satu-satunya.

Dan menurut mamanya Sandy penghasilan sebagai guru BP tidak begitu menjanjikan, akhirnya mama Sandy melanjutkan sekolah lagi agar bisa mendapat gelar keprofesian psikolog. Semenjak itu hubungan Sandy dan mamanya renggang, mereka jarang berkumpul bersama bahkan untuk berbincang beberapa jam di hari libur sekalipun terasa sulit mengatur waktu, jika mamaya yang tidak bisa kali berikutnya jadwal Sandy yang bentrok.

Apalagi mamanya kini memiliki biro konsultasi psikolog, yang didirikan bersama teman-temannya sesama psikolog, dimana telah bekerja sama dengan salah satu rumah sakit swasta di Jakarta, membuat mamanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan pasien-pasiennya daripada dengan Sandy anak satu-satunya. Dan jika mereka sedang berkumpul, mama Sandy lebih fokus bertanya mengenai sekolah atau kuliah Sandy daripada bertanya mengenai kehidupan pribadi Sandy sendiri. Semenjak itu Sandy menyimpulkan bahwa ia tidak hanya kehilangan sosok papa tetapi juga kehilangan sosok mama sekaligus.

Siang menjelas sore ia melihat Natasya sedang menyapu halaman depan sambil bernyanyi-nyanyi riang. Sandy menghampirinya. ”Kemaren pulang jam berapa, udah dapat buku yang dicari, terus pulang naik apa, kesasar enggak sam-”

“Bisa enggak sih nanya satu-satu, kayak lagi interogasi aja,” wajah Natasya yang tadinya ceria menjadi cemberut.

“Ya tinggal jawab sekalian susah amat,” sebenarnya ada keinginan Sandy untuk menyampaikan salam dari Kevan tetapi melihat jawaban Natasya yang sepertinya tidak mau diganggu, jadi diurungkanlah salam tersebut.

“Mas Sandy sendiri gimana kemaren jalan-jalannya,” tanya Natasya balik.

“Seru, sayangnya Anwar enggak bisa ikutan.”

“Kenapa,”

“Mau tahu aja, pertanyaan gue aja belum dijawab,” jawab Sandy kesal.

“Nanti Natasya jawab habis selesai nyapu yah,” ia kemudian melanjutkan menyapu halamannya dengan riang kembali. Baru saja Sandy mau duduk dikursi teras, ia melihat Januar sedang menyiram tanaman dihalaman rumahnya, langsung saja mood Sandy berubah dan kembali masuk kedalam rumah.

Sandy terkadang lupa sejak kapan ia sepertinya tidak menyukai Januar, walaupun kalau diingat-ingat itu bukan kesalahan Januar. Dia pindah ke komplek ini ketika Sandy menginjak kelas dua SMP dan kebetulan Januar sekolah satu SMP yang sama dengan Sandy namun beda kelas. Awalnya dia suka main atau belajar bersama dengannya. Januar juga suka main dirumah Sandy tetapi lebih sering Sandy yang bermain dirumah Januar.

Selepas mereka kenal sekitar tiga bulan, Sandy melihat ada perubahan pada Januar, dia menjadi pendiam dan sering menolak ajakan Sandy. Sikapnya makin menjadi ketika orang tuanya bercerai, ia menjadi anak pendiam dan lebih banyak belajar. Dia juga jarang berada dirumah dan lebih suka berkegiatan yang bermanfaat bukan sekedar kumpul-kumpul dengan teman sebaya. Sejak itu juga ia selalu menjadi juara kelas ditambah juara kompetisi yang diikutinya, tak jarang mamanya membanggakan prestasi anaknya didepan mama Sandy. Mulai dari situ lah ia menjaga jarak dengan Januar dan sedikit demi sedikit mulai tidak suka dengan dia dan mamanya. Ia merasa seperti tidak apa-apanya jika dibandingkan dengan Januar.

15 Juni 2015

Hari senin ini sudah masuk minggu ketiga Sandy liburan dirumah, dan dalam minggu ini ia ingin berusaha mengetahui lebih banyak lagi mengenai Natasya dan keluarganya walaupun sulit sekali untuk memulai karena bagaimanapun Natasya adalah seorang wanita dan hati wanita sulit ditebak atau begitulah yang pernah dikatakan Anwar.

Ketika Sandy melihatnya berada di dapur, ia langsung menghampirinya dan mengangetkannya dari belakang. “Rajin nih calon guru muda kita,” kata Sandy tiba-tiba yang hampir membuat Natasya menjatuhkan talenan yang ada didepannya.

“Apa sih mas Sandy bikin jantungan aja. Lagian kan belum pasti jadi guru juga,” kata Natasya sembari membereskan irisan bawang yang tadi dia lakukan. ”Cuma mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat,” Sandy benci kata-kata itu.

Dilihat secara seksama, Sandy cukup heran ternyata Natasya bisa memasak. ”Memangnya kamu mau masak apa?” Sandy bertanya sekaligus meledek Natasya. ”Emang kamu bisa masak apa, mama aja yang bertahun-tahun masak nggak semua masakannya enak,” kata Sandy jujur.

“Hayo aku bilangin bude nih kalau kata mas Sandy masakannya nggak enak,” ancam Natasya.

“Enggak semuanya yah, lagian kalau mau kasih tahu juga enggak masalah kok, udah pernah ngomong juga. Makanya mama selalu nyediain makanan instan di kulkas,” jawab Sandy merasa tak takut dengan ancaman Natasya.

Karena Sandy terlanjur berada di dapur, kenapa tidak sekalian saja ia mencoba masakan Natasya, pikirnya. Ia mnecoba membantu Natasya sebisanya, entah itu hanya memotong daun bawang atau hanya mengganggu Natasya yang sedang mengoseng-oseng masakan diwajan.

Lihat selengkapnya