19 Juni 2015
Sandy hari ini terbangun karena mendengar suara musik yang cukup keras, padahal ini masih terlalu pagi untuk menyalakan musik, dan lagi dengan suara drum dan teriakan sang vokal yang mengema, Sandy hanya bisa berharap pak RT tidak datang kerumahnya. Ketika ia membuka mata lebar-lebar tak ada siapapun dikamarnya, tetapi jelas ini suara dari lagu London Calling milik band The Clash, salah satu band favoritnya, tetapi siapa yang menyalakannya selain dirinya di rumah ini.
Segera ia keluar kamar dan menemukan Natasya sedang berdendang diruang keluarga, ketika Natasya menoleh dan melihat Sandy ia berteriak ‘Tasya Calling’, ia bernyanyi dan mengganti kata ‘London’ dengan ‘Tasya’ dan hal itu yang membuatnya terbangun, karena sangat tidak nyambung dengan lagunya. Sungguh cerdik menurut Sandy cara Natasya membangunkannya, tapi mengapa mamanya tidak marah mendengar suara musik sekencang ini pagi-pagi.
“Berani banget putar lagu pagi-pagi,” sambil mematikan volume pada CD player. ”Kenceng banget lagi. Mama emang nggak marah? “ tanya Sandy heran.
“Sayangnya bude udah berangkat pagi-pagi sekali, katanya ada urusan,” jawab Natasya santai.
“Tiap hari juga ada urusan,” merebahkan diri dikursi panjang depan televisi.
“Jangan-jangan mau ngelanjutin tidur lagi,” gerutu Natasya yang kesal karena sudah capek menyalakan musik rock agar Sandy bangun. “Katanya ada urusan yang sangat penting,” lanjut Natasya sambil mengangkat dua jari di kedua tangannya.
“Iya lebih penting daripada ngebangunin anaknya buat bangun dan sarapan,” ujar Sandy blak-blakan.
Natasya merasa tidak setuju. “Jangan gitu mas, bude emang kelihatannya buru-buru. Kita nggak boleh su’udzon sama ibu sendiri dan harus selalu berhusnudzon,” Sandy ingin sekali menjelaskan seberapa penting ia bagi mamanya tetapi Natasya tidak akan mengerti dan hanya akan membuang waktunya berdebat dengan sepupunya yang selalu bisa membalikkan perkataan Sandy.
Sandy berpindah tempat, karena percuma saja ia tidur lagi karena suara cerewet Natasya masih menghambatnya untuk melanjutkan tidur yang dirasa belum puas.
Sandy berjalan lemas ke meja makan sambil berpikir mengenai ibunya Natasya, apakah ia pernah berpikiran buruk tentang ibunya, namun apakah itu bijak jika ia bertanya disaat sekarang. Karena pertanyaan mengenai keluarga itu merupakan hal yang sangat sensitif.
Setelah puas mendengarkan musik yang kini volumenya tidak sebesar tadi, Natasya menghampiri Sandy di ruang makan yang sedang membuat mie instan. ”Wah lagi jadi anak kos nih?” katanya sambil melirik mie yang sedang direbus Sandy. ”Kayaknya enak nih kalau sekalian masak dua bungkus.”
“Bilang aja mau, pake basa basi. Emang belum sarapan?” kata Sandy selagi ia menuangkan bumbu dimangkoknya.
Natasya menggeleng. ”Belom, tadi bude bilang ayam yang dikulkas kemaren diangetin aja kalau pengen sarapan, tapi liat mie langsung kepengen,” kata Natasya memegang perutnya yang sedang berbunyi. Dan dengan terpaksa Sandy langsung mengambil satu lagi mie instan dan memasaknya untuk Natasya sekalian.
“Tumben langsung dibuatin nggak pake basa basi buat penolakan terlebih dahulu,” tanya Natasya heran namun senang juga.
"Lagi nggak mau debat, lagi banyak pikiran,” jawab Sandy singkat fokus pada mie yang sedang dimasaknya.
“Enggak usah dipikirin, langsung aja omongin ke aku,” desak Natasya.
“Maksudnya?” tanya Sandy sambil meniriskan mie yang sudah matang.
“Lagi mikirin aku kan,” Natasya mencoba menebak pikiran Sandy. Tapi Sandy hanya terdiam dan menandakan tidak ingin melanjutkan gurauan Natasya, lagipula dia tidak bisa membiarkan mie goreng kesukaannya terlalu lama diatas piring. Sandy membagi mie yang sudah matang menjadi dua bagian, untuknya sendiri dan untuk Natasya sesuai permintaan tadi. Dan sepupunya pun ternyata cukup mengerti apa yang harus dilakukan, duduk, makan, dan diam lebih baik. Sandy makan mie instan dengan lahap, sesekali menambahkan saos agar lebih pedas sambil melirik Natasya. Keduanya seperti sudah saling mengerti, walaupun Natasya sedikit penasaran dengan apa yang dipikirkan Sandy.
Setelah mie selesai disantap mereka berdua, Sandy berusaha memulai pembicaraan. ”Tumben nggak banyak omong pagi ini?” tanya Sandy heran.
“Tadi mas Sandy sendiri yang bilang lagi banyak pikiran.”
“Kali aja nona sok tahu ini mau mancing-mancing.”
Natasya hanya tertawa dan menyahut. ”Kalau saudara lagi banyak pikiran biarkan ia tenang dulu, baru kalau pikirannya udah tenang boleh diganggu lagi,” katanya dengan wajah tersenyum, kalau dipikir-pikir kembali Natasya itu ibarat orang tua yang menyamar sebagai anak sekolah, kecil-kecil tapi sok tua.
“Oh jadi ada rencana mau ngerjain aku nih,” komentar Sandy. ”Pantes dari tadi ada perasaan nggak enak gitu.”
“Bukan begitu,” kata Natasya sungguh-sungguh mengangkat jari telunjuk dan jari tengah kedepan wajah Sandy sambil berkata swear.
“Calon guru nggak boleh bohong loh,” pancing Sandy.
Natasya menghela nafas sejenak. “Ngajar aja belum calon guru apanya, lagian memang enggak ada niat mau gangguin mas Sandy,” keduanya pun terdiam sesaat, dan tatapan mata Sandy yang memecahkan pikiran Natasya.
“Tapi kelihatannya ada yang mau kamu ngomongin,” desak Sandy. ”Udah cerita aja kalau memang ada yang perlu diceritakan, aku siap mendengarkan,” Sandy bisa menebak Natasya ingin membicarakan perihal ayahnya, karena sejak malam itu, ia sering melihat Natasya memandangi foto-foto lama, mungkin salah satunya foto ayahnya.
Wajah Natasya hampir selalu terlihat innocent sehingga Sandy terkadang sulit untuk membaca pikirannya. Ia kadang bersikap layaknya remaja lainnya yang seumuran tetapi tak jarang pula kata-kata dan nada bicaranya persis orang dewasa, seperti mamanya, Sandy sadar bahwa diusia Natasya yang masih muda sudah melalui banyak hal, tetapi andai saja ia dekat dengan sepupunya ini sejak dulu, mungkin sebagian bebannya akan hilang.
“Tapi kelihatannya malah mas Sandy yang punya sedikit masalah,” tebak Natasya. ”Begini aja gimana kalau sekarang mas Sandy dulu yang cerita, nanti habis itu baru aku,”
“Kamu dulu aja deh, aku yang dengerin,” sergah Sandy.
“Mas Sandy dulu aja.”
“Yang muda dulu aja yang cerita.”
“Justru itu yang lahir duluan yang cerita pertama,” mereka saling adu argumen siapa yang lebih dulu bercerita. Dalam hati masing-masing sebenarnya masih ragu apakah perlu bercerita atau tidak, karena masalah yang ingin mereka utarakan sebenarnya bisa dibicarakan lain waktu atau mungkin bisa selesai dengan sendirinya. Tetapi karena dari mereka berdua sudah bisa saling menebak isi pikiran masing-masing, maka hal ini sudah tidak bisa ditarik kembali.
"Oke deh aku yang cerita duluan, soalnya yang ngalah itu lebih banyak pahalanya lagian kita kan bersaudara, lagipula bukankah dinadi kita mengalir darah yang sama,” jawab Sandy dengan nada serius tetapi tidak dengan mimik wajahnya.
Natasya tertawa. ”Apakah kita sedang berada di negeri dongeng,” kata-kata Sandy memang terlihat seperti dia habis melahap buku-buku fantasi.
Dan pada akhirnya Sandy bercerita mengenai masalah Anwar yang diceritakan Kevan dan Natasya terlihat sangat antusias sekali.
“Ini tidak bisa dibiarkan, ini namanya pengkhianatan,” kata Natasya berapi-api.
Sandy tak percaya dengan omongan Natasya. ”Kamu habis nonton film apa sih? Ngaco. Apanya yang pengkhianatan?” Sandy sendiri ragu apakah Natasya tahu arti sebenarnya dari pengkhianatan.