1 Juli 2015
Hari ini hampir sepanjang hari Natasya bercerita mengenai kegiatannya yang kemaren diikuti, ternyata tidak hanya ikut rapat untuk acara penyambutan tujuh belasan nanti tetapi kemaren Natasya juga ikut seminar mengenai pendidikan anak usia dini dan ternyata itu adalah saran dari mama Sandy sendiri. Sepertinya memang benar bahwa Natasya mengisi liburan ini dengan hal yang bermanfaat, tetapi apakah menjadi panitia tujuh belasan itu bermanfaat, paling banter Natasya akan mengurusi perihal lomba apa saja yang nanti akan diadakan. Dan jika hal itu terjadi makan dengan senang hati Sandy akan pulang ke Jakarta untuk mentertawakannya.
Mendengar cerita Natasya tentunya telinga Sandy dijejali masalah seputar pendidikan karakter anak usia dini. Bahkan ocehan Natasya melebihi seorang dosen mengisi seminar yang dilangsungkan berhari-hari. Lagipula Sandy tidak begitu tertarik dengan dunia pendidikan, karena menurutnya setelah dewasa, setiap anak berhak menentukan jalan hidup yang nanti akan ditempuhnya, toh percuma saja menjejali pendidikan kepada anak kecil dimana dunia mereka yang sebenarnya adalah dunia bermain.
“Cukup,“ kata Sandy mendengar Natasya yang sudah bercerita selama kurang lebih setengah jam yang isinya seputar pendidikan anak, menikah saja belum apalagi mengurusi masalah pendidikan anak. ” Bisa enggak ceritanya bukan soal isi seminar atau isi rapat di karang taruna.”
“Terus mas Sandy mau aku cerita apa kalau bukan isi dari seminar yang aku ikuti,” sudah panjang lebar Natasya menjelaskan tetapi yang dijelaskan hanya menganggapnya angin lalu saja.
“Ya kan bisa cerita soal teman-teman kamu gitu.”
Natasya tahu kemana arah pembicaraan ini. ”Maksudnya teman-teman Natasya yang cantik, baik dan berkarakter gitu,” katanya sambil memukul bantal yang ada didekatnya hingga Sandy merasa kesakitan. ”Lagian teman-teman Natasya yang tipe kayak gitu enggak bakalan mau juga sama mas Sandy yang bangun pagi aja malas, kerjaannya tidur, maen terus.”
“Kamu pikir aku setahun belakangan ngapain, tidur sama main doang, aku juga belajar,” keluh Sandy karena Natasya hanya isa melihat dari luar saja.
“Tetapi kalau kuliah sudah tahun ketiga bukannya seharusnya mas Sandy ikut magang atau pelatihan kerja gitu.”
“Itu mulai semester depan asal kamu tahu aja,” jelas Sandy. ”Kalau kamu enggak paham enggak usah sok tahu,” Sandy pergi dari ruang keluarga dengan kesal, lama-kelamaan Natasya sudah seperti mamanya yang hanya bisa menilai orang dari luarnya saja, bukankah liburan memang harus diisi dengan bersenang-senang, kalau mesti berjibaku dengan rutinitas seperti halnya kuliah umum untuk apa Sandy pulang kerumah, sama halnya jika sudah bekerja nanti akan ada yang namanya cuti, jadi kalau sedang mengambil cuti tetapi disuruh sambil kerja juga ada lebih baiknya kita segera keluar dari pekerjaan itu.
Sandy pergi menuju teras depan menjauh dari Natasya, namun baru saja akan membuka pintu ruang tamu dia melihat Januar sedang bersiap untuk keluar rumah dengan berpakaian rapih. Natasya yang mengikuti Sandy diam-diam dari belakang memperhatikan tingkanya. ”Contoh itu kayak mas Januar yang sudah siap menghadapi skripsi sambil magang,” Sandy mengabaikan nasehat Natasya atau apalah itu namanya. Pikirannya lebih tertuju pada Januar, membayangkan dia sudah mempunyai rencana akan masa depannya. Mungkinkah selama ini memang dia tidak bermaksud untuk pamer atau lebih baik daripada Sandy, dia hanya ingin melupakan kesedihan akan kondisi keluarganya dengan belajar sebaik mungkin dan menggapai masa depan.
Seketika Sandy mengaca kembali pada dirinya sendiri, pantaskah ia berpikiran negatif kepada Januar seperti yang dilakukan mamanya terhadap dirinya. Ia sadar itu merupakan hal yang tidak adil bagi Januar, dan Sandy hanya merasakan sebuah kekesalan yang mendalam karena ditinggalkan oleh teman baiknya itu sehingga hanya itulah cara pelampiasan yang bisa ia lakukan untuk menghukum keadaan yang tidak memihak pada dirinya. Lalu sesaat terbayang sebagian ingatan Sandy akan masa-masa bermain dengan Januar, khususnya sepulang sekolah. Kadang mereka bermain dirumah Sandy kadang dirumah Januar saling bergiliran, biasanya sebelum sampai rumah tepat waktu tengah hari terik, mereka jajan es di warung depan komplek, lalu membuat perlombaan siapa yang habis lebih dahulu dialah pemenangnya, tentu saja itu ide Sandy karena dia tahu pasti menang karena dia sangat suka sekali minuman rasa buah dingin.
Lalu sesampainya dirumah, dengan hanya menaruh tas sekolah tanpa berganti baju terlebih dahulu, mereka sudah asyik bermain, terkadang dengan bola sepak kesayangan Januar, mainan action figure milik Sandy atau hanya sekedar berdendang mengikuti band favorit mereka bernyanyi di layar kaca. Jika maghrib menjelang suara teriakan mama Sandy dan mama Januar memecah keheningan menjelang malam, ketika itu ada sekilas keceriaan yang hilang di wajah Sandy dan Januar, namun mereka sadar bahwa kebersamaan itu akan hadir keesokan harinya, sehingga perpisahan setiap sore tidak akan membuat mereka bersedih, malahan semakin membuat mereka bersemangat untuk menyambut esok hari.
Tetapi kisah kebersamaan itu tidak berlangsung lama, keretakan keluarga membuat semua hari-hari ceria Januar sirna seketika, seolah-olah ia menarik diri dari lingkungan sekitar. Sandy ingat ia tidak mau pergi ke sekolah lebih dari seminggu, ketika itu dengan setia setiap sepulang sekolah Sandy senantiasa menunggu Januar di teras rumahnya untuk menunggunya keluar kamar. Setiap itu juga pintu kamarnya tertutup rapat, mama Januar tidak bisa memaksa anaknya karena ia sendiri sejak saat itu mesti berjuang sendiri menghidupi anaknya seorang diri.
Namun kala itu Sandy masih memiliki ayah yang selalu menyemangatinya dan selalu menasehati Sandy untuk bersabar menghadapi sikap Januar yang berubah. Mama Sandy juga waktu itu belum sesibuk saat ini, ia selalu ada saat Sandy membutuhkan. Tetapi ketika ia kehilangan ayahnya untuk selamanya, ia sadar mengapa sikap Januar bisa berubah, dan sejak itu ia tidak lagi memikirkan teman kecilnya, namanya hanya disebut ketika mama Sandy membanding-bandingkannya dan hal itu yang tidak ia suka sampai detik ini, seolah Januar bisa menyikapi keretakan keluarganya dengan menjadi pribadi yang sukses sedangkan Sandy terlalu melihat kebelakang dan tidak bisa move on dengan kenangan masa lalu dan pengertian bahwa kehidupan manusia bisa berubah dalam sekejap.
“Mas Sandy enggak lagi mikirin mas Januar kan,” Sandy menoleh kearah Natasya dan masih tak menggubris perkataannya. ”Bukannya dia teman mas Sandy juga,” Sandy menebak mamanya sudah menceritakan hal ini pada Natasya. Januar sendiri memang sudah pergi dari rumahnya beberapa menit yang lalu tetapi tidak dalam pikirannya. Ada perasaan aneh menerpa pada diri Sandy yang membatalkan niat keluar rumah untuk mencari udara segar, akhirnya ia masuk kembali dan pergi kekamarnya dengan perasaan campur aduk.
Natasya hanya bisa bengong melihat sikap sepupunya itu.
2 Juli 2015
Hari ini Sandy ingin memastikan sekali lagi keberadaan Joshua yang menghilang begitu saja. Ada sedikit rasa khawatir yang memenuhi pikiran Sandy, ditambah teringat mimpinya tentang Joshua. Tetapi kali ini ia ingin membawa Natasya ikut serta, mungkin saja jika terjadi sesuatu pikiran cerdiknya bisa membantu Joshua keluar dari masalah. Dan ternyata hari ini dengan senang hati Natasya bersedia memenuhi keinginan Sandy kali ini, dikarenakan moodnya hari ini sangat bagus sekali, apalagi setelah ia melihat peruntungannya melalui zodiak, ia semakin yakin kalau Sandy akan bertemu dengan Joshua dalam keadaan baik-baik saja.
“Percaya aja sama yang begituan,” kata Sandy mengkomentari perihal keyakinan seseorang pada zodiak.