10 Juli 2015
Sandy senang Natasya mengalami banyak perubahan pada dirinya. Dan Sandy bangga karena Natasya sudah memikirkan masa depannya. Bahkan kedepannya Sandy yakin bisa melihat Natasya akan menjadi wanita karir yang sukses.
“Terus kapan mulai pelatihannya?” tanya Sandy semangat.
“Mulai minggu depan, setiap hari senin, selasa dan rabu,” jelas Natasya.
“Jadi dari senen sampai rabu gue sendirian di rumah dong,” kata Sandy lesu dan tiba-tiba tidak bersemangat. Karena ternyata Sandy sudah terbiasa dengan kehadiran Natasya dirumah.
“Katanya seneng aku punya kesibukan, sekarang udah sibuk malah nggak suka kelihatannya, plin plan nih mas Sandy,” kata Natasya cemberut. Tapi itulah manusia tempatnya serba salah, pikir Sandy.
“Kenapa kamu nggak sekalian ambil kuliah aja.”
“Kuliah kan butuh biaya dan aku nggak mau membebani bude, lagipula aku nggak begitu berprestasi di bidang akademik, jadi percuma,” jawab Natasya jujur.
“Kamu kan bisa belajar, masalah biaya itu gampanglah. Paling mama biayain cuma uang gedung sama awal-awal semester, selanjutnya biar aku yang biayain,” kata Sandy dengan nada sangat yakin, padahal kerja saja belum.
“Sombong banget, uang jajan aja masih minta, sok-sokan biayain aku kuliah. Yakin banget gitu habis lulus langsung dapet kerja, zaman sekarang nyari kerjaan tuh susah tahu, nyari cowok aja susah,” canda Natasya.
Apa hubungannya sama cowok, jangan-jangan Natasya sedang meraskan yang namanya jatuh cinta, pikirnya dalam hati. “Kalau aku belum kerja, nanti aku mau buat ‘penggalangan dana untuk biaya kuliah Natasya’, gimana cocok nggak judulnya,” ledek Sandy. ”Terus aku minta bantuan sama Kevan, Joshua dan Anwar buat penggalangan dana dikampus mereka juga.”
“Dasarrrr, bikin malu aja, memangnya Natasya korban bencana apa,” Natasya kesal dan segera mengejar Sandy dan memukulinya dengan serbet dapur yang dari tadi ia pegang untuk melap kompor.
”Kotor tahu Tasyaaa, itukan bekas kompor, suka gitu deh,” begitulah kelakuan dua sepupu itu, diawali dengan saling mensupport namun selalu diakhiri dengan saling meledek dan akhirnya kejar-kejaran.
Selepas pertengkaran yang akhir-akhir ini dilalui mereka berdua, Sandy mulai berpikir mendalam mengenai kesibukan Natasya untuk membantu sekaligus memantau perkembangan Joshua, Sandy sangat senang mendengarnya mungkin kali ini sahabatnya itu bisa benar-benar menjauh dari yang namanya narkoba dan berharap bisa mnejadi Joshua yang pertama kali Sandy kenal, sedikit nakal namun masih dalam koridor yang wajar. Tetapi lagi-lagi ia bisa memprediksi kalau hal ini akan lebih mendekatkan hubungan Natasya dengan Joshua, mungkin mereka akan sering bertemu dan tumbuh benih-benih cinta, dan hal ini tidak bisa diawasi langsung oleh Sandy. Terkadang Sandy ingin mengajak Natasya membicarakan perihal ini tetapi takut kalau sepupunya ini merasa tersinggung atau malah dikira mencampuri urusan orang lain apalagi ini menyangkut perasaan yang tidak bisa diatur oleh siapapun.
Tetapi pada akhirnya Sandy berusaha untuk menyingkirkan pikiran negatif yang terlintas dibenaknya, lagipula jika dilihat dari tingkah laku Natasya, sepertinya ia belum mau memikirkan perihal asrama, malah bisa jadi jika Sandy mulai membicarakan perihal ketakutannya akan kisah cinta antara sahabat dan sepupunya mungkin saja akan berakhir dengan ditertawakannya Sandy didepan wajah Natasya, karena selama ini pikiran ia tidak ada juntrungannya. Maka habislah ia diolok-olok oleh Natasya seharian.
11 Juli 2015
Rencana hari ini seharusnya mengunjungi sekolah Sandy, tetapi karena hari ini Kevan tidak bisa hadir dikarenakan acara lamaran kakaknya, maka mereka menggantinya dengan sabtu depan. Padahal Sandy sudah tidak sabar untuk segera bernostalgia. Karena menurutnya hanya dengan sesekali menengok kebelakang kita baru bisa jalan lurus kedepan, dan Sandy kadang juga tertawa jika mengingat kembali masa-masa sekolahnya dulu, bukankah itu bagus untuk menghibur diri sendiri, pikirnya.
Bahkan ia berharap tukang mie ayam di belakang sekolah masih berjualan sampai sekarang, karena itu adalah tempat makan favoritnya dulu dan harganya juga murah meriah bagi kantong anak sekolah. Sandy juga berharap masih ada pak Ruslan tukang kelontongan dekat sekolahnya dulu, karena Sandy cukup sering kasbon ke warung kelontongan pak Ruslan jika uang jajan yang diberikan mamanya kurang, tapi sepertinya sulit berharap pak Ruslan jualan karena bulan ini liburan sekolah dan tak banyak anak sekolah pergi kesana kecuali murid-murid yang aktif mengikuti kegiatan eskul atau panitia acara ospek tahunan, atau mungkin termasuk panitia acara reuni angkatan Sandy yang akan dilaksanakan akhir bulan ini.
12 Juli 2015
Pagi ini mama Sandy membangunkan anaknya untuk mengajak sarapan. Menurut Sandy itu merupakan perubahan besar yang tidak biasa. Di meja makan mereka sarapan nasi goreng yang dimasak oleh mama Sandy, masakan mamanya sebenarnya tidak buruk tetapi dikarenakan waktu yang sempit, mamanya jarang masuk dapur untuk membuatkan masakan, apalagi ketika Sandy di Bandung dan mamanya hanya tinggal sendiri, tambah malas mamanya memasak, untuk apa masak tetapi untuk diri sendiri hanya membuang-buang waktu saja.
“Kamu hari ini nggak kemana-mana San?” tanya mama Sandy memulai pembicaraan. Ada kekhawatiran Sandy ditanya hasil ujiannya.
“Ada apa memangnya ma?” tanya Sandy balik.
“Cuma nanya aja. Memangnya kamu nggak bosan di rumah terus?”
“Aku kadang keluar kok.”
“Tapi kamu keluar cuma buat main nggak jelas, kamu bisa tuh ikuti jejak Natasya, ikut-ikut seminar, atau ikut pelatihan atau berkunjung ke perpustakaan nasional buat cari-cari bahan untuk skripsi,” saran mama Sandy seperti yang sering ia bicarakan tempo hari. Natasya yang namanya disebut-sebut hanya bisa berdiam diri.
“Jadi intinya mama cuma pengen banding-bandingin aku kan,” Natasya merasa kejadian awal pertemuan terulang kembali. ”Ma aku udah tiga tahun kuliah, ikut organisasi, hidup mandiri, emangnya kurang,” bentak Sandy. ”Lagian sejak kapan mama peduli sama yang aku lakuin. Bukannya mama cuma peduli sama nilai-nilai aku aja, atau karena nilai aku jelek terus mama boleh maksa-maksa Sandy gitu.”
“Jelas mama peduli sama kamu.”
Sandy menggelengkan kepala. ”Kelihatannya mama lebih peduli sama pasien mama atau teman-teman mama, bahkan mama nggak peduli sama Joshua yang harusnya mama tolong, tapi malah pengen aku untuk jauhin dia.”
“Justru karena mama peduli, mama ingin supaya kamu tidak terjerumus seperti Joshua.”
“Kalau Joshua bayar mama buat konsultasi apa mama mau mengizinkan Joshua temenan sama aku?” pertanyaan Sandy seperti mengandung ancaman. Mamanya hanya terdiam membisu, ini bukan soal uang, pikir mamanya Sandy.