HOMECOMING

Lucky
Chapter #16

Bab #16

18 Juli 2015

Hari ini Sandy merasa lebih baik walaupun kata Anwar semalam dia sempat sedikit gelisah karena memikirkan kuliah Joshua yang ia yakini tidak akan dilanjutkannya. Joshua juga sudah berpikir bahwa jika orang tuanya saja tidak memikirkan tentang kuliahnya apalagi dirinya sendiri. Dan dengan kemandirian yang ingin ia jalani, sudah saatnya dia bisa menghidupi dirinya sendiri, tepatnya setelah ia benar-benar sembuh dari kecanduannya.

Sandy senang dengan semangat Joshua yang diperlihatkannya akhir-akhir ini. “Gue juga pengen ikut reuni angkatan kita minggu depan,” kata Joshua dimana ia sempat ragu tidak diizinkan oleh perawatnya.

“Serius? Yeah,” sahut Sandy mengepalkan jarinya.

“Jadi kita berangkat sekarang,” ajak Anwar.

“Let’s go.”

Hari ini tepat pukul lima sore Sandy, Joshua, dan Anwar berdiri didepan sekolah yang pernah menjadi bagian dari hari-hari mereka dulu, biarpun Natasya tidak bersekolah disini tetapi ia ikut merasakan kebahagiaan mereka.

“Enggak kerasa ya udah tiga tahun kita ninggalin sekolah,” kata Sandy.

“Iya, perasaan kayak baru kemaren kita lulus,” ujar Anwar.

“Iya, sama,” sahut Natasya

“Lu kan emang baru lulus,” sela Sandy sambil mendorong badan Natasya. ”Jangan ngerusak suasana dong Tasya, kita ini lagi mengenang kebersamaan zaman sekolah dulu,” Sandy menggerutu.

“Iya Tasya tahu, tapi apa salahnya sih ngerasain hal yang sama, toh kita semua pernah jadi anak SMA kan.”

“Biar aja sih San, Natasya kan udah jadi bagian dari kita,” kata Anwar membela Natasya dan disambut senyum manis dari Natasya. “Lagian tega amat lu sama saudara sendiri, badan udah kecil masih didorong kayak gini.”

“Tuh dengerin apa kata mas Anwar,” Natasya merasa senang dibela oleh Anwar dan Sandy hanya bisa cemberut sambil memiringkan bibirnya karena merasa kalah dari Natasya.

Sekolah ketika masa liburan saat ini sepi, bahkan tidak setiap hari ada satpam sekolah, tetapi kadang ada beberapa murid yang datang untuk pertemuan eskul atau tempat untuk rapat-rapat pengurus Osis. Sandy melihat pintu pagar sekolah mereka terbuka sedikit, dan mereka masuk satu persatu lewat celah itu. Anwar mendapat bocoran bahwa panitia reuni akbar angkatan mereka sedang rapat disini hari ini, bahkan mungkin dari hari kemaren, makanya sekolah mereka tidak begitu gelap karena ada beberapa ruangan yang bercahaya dikejauhan yang tak lain tak bukan adalah ruang Osis.

Setelah mereka masuk kedalam sekolahan, mereka bertiga mengamati bekas sekolah mereka dengan seksama. Semua tampak belum berubah sedikitpun. Ketika masuk mereka disambut oleh kolam ikan kecil yang berada dekat tiang bendera dan mimbar lapangan yang dipakai hanya ketika upacara hari senin berlangsung. Joshua hapal sekali tempat itu karena ia sering terlambat dan disuruh berdiri menghormati tiang bendera setelah selesai upacara. Kata-kata ‘gue benci hari senin‘ selalu terngiang ditelinga Sandy.

Tempat yang mereka tuju sebenarnya adalah ruang kelas 1-5 yang dulu menjadi kelas paling berisik, dan juga menjadi kelas bertemunya empat sahabat yang sampai sekarang masih terus bersama-sama. Kelas tersebut berada di lantai dua disebelah kiri pintu masuk. Semua kelas disekolah Sandy terletak di lantai dua dan tiga karena ruangan lantai satu hanya dipakai untuk ruang guru, ruang aula yang sangat luas, ruang lab, ruang tata usaha, ruang eskul, koperasi, juga musholla sekolah.

Mereka tahu bahwa semua tangga menuju lantai atas dikunci, tetapi Sandy hafal bahwa tangga mushollah tidak pernah dikunci. Karena musholla sekolah mereka bertingkat untuk memisahkan jamaah laki-laki dan jamaah perempuan.

“Untung lu ingat San,” kata Anwar. ”Gue aja udah lupa.”

“Sholat aja lu sering lupa kan,” Anwar nyengir. “Jelas gue inget kan gue sering ngintip akhwat-akhwat kalau lagi rapat rohis,” jawab Sandy cekikikan.

“Tapi lu pernah ketahuan ama si Agung kan, ngaku lu?” desak Anwar.

“Iya abis itu gue diceramahin panjang lebar tentang arti gadhul bashar atau apalah itu, pokoknya kita harus menjaga pandangan terhadap lawan jenis khususnya terhadap akhwat.”

“Lagian lu kelas tiga sebangku sama mantan ketua rohis tapi kelakuan kayak mantan preman.”

“Tuh yang ngajarin,” Sandy melirik Joshua tetapi tak diacuhkan oleh Joshua karena dia sendiri sedang mengamati ruang-ruang lain di sebelah musholla.

Mereka berjalan menuju Musholla dan untungnya menjauhi ruang osis karena ruang osis berada paling ujung diantara ruangan eskul lain. Anwar melihat sekilas koperasi, dimana dia pernah menjadi pengurusnya, itu adalah usaha yang lumayan untuk menambah uang jajan kala itu sampai ada percobaan mengenai ‘koperasi kejujuran’. Itu adalah program sekolah untuk menguji murid-murid dan mengajari mereka sebuah kejujuran. Jadi koperasi itu menjual makanan tetapi tidak ada yang menjaganya, didalamnya terdapat kotak uang berikut kembaliannya, jadi murid yang jajan di koperasi membayar sendiri dan mengambil sendiri kembaliannya sesuai dengan harga makanan yang tertulis di produk. Tetapi setelah sebulan diadakan bukannya koperasi untung tetapi malah rugi sampai ratusan ribu.

“Iya gue ingat, lu ngeluh kan soal kerugian koperasi.”

“Jelaslah, keuntungan koperasi kan buat murid-murid yang mengelolanya, pas tahu rugi, gue langsung aja usulin buat meniadakan program itu, pasti banyak anak iseng yang memanfaatkannya,” keluh Anwar. ”Bukan buat nambah uang jajan gue malah gue sama anak-anak koperasi nombokin buat balik modal.”

“Lu mau tahu nggak siapa murid iseng yang lu maksud?” kata Joshua.

“Jangan-jangan lu lagi,” tebak Anwar terbelalak dan menyadari bahwa Joshua pelakunya. ”Sekarang balikin jajanan yang lu ambil nggak pake bayar.”

“Ntar deh kalau gue udah kerja, gua ganti dua kali lipat,” balas Joshua.

“Ya ela War, jajanan sekolah paling mahal berapa sih, ikhlasin aja kenapa.”

“Harusnya waktu itu mas Anwar tulis di pintu masuk ‘yang beli tidak bayar disumpahin bibirnya dower’ abis itu tinggal cari murid yang bibirnya dower, nah itu dia pelakunya,” jawab Natasya mengusulkan sebuah ide cemerlang.

“Udah telat sarannya, lagian progamnya cuma berjalan tiga bulan doang karena guru-guru udah pada tahu kalau murid-murid disini pada nggak modal buat jajan, gimana para pejabat nggak korupsi, kalau jajan di koperasi aja pake curang.”

“Waduh pake ngomongin pejabat segala, tinggi banget pembahasannya nih,” sergah Joshua. “Jangan-jangan lu mau jadi staf KPK yah.”

Sandy merasa suara mereka terlalu keras dengan suasana sesunyi ini. ”Ssst jangan keras-keras kalau ngomong, nanti anak-anak panitia pada dengar.”

Akhirnya mereka sampai di tangga musholla dan berusaha menyakinkan bahwa mereka tidak ketahuan oleh anak-anak panitia reuni yang berada di ruang Osis. Tak lama mereka sampai didepan kelas mereka dulu. Diatas pintu tertulis kelas 1-5. Mereka masuk dan Sandy langsung menyalakan lampu tetapi dihalangi oleh Joshua.

“Jangan nanti ada yang tahu kalau ada orang,” katanya seraya mengeluarkan sesuatu dari kantong jaket Joshua. ”Ini pake senter aja, sengaja gue bawa.”

“Emang lu kawan yang bisa diandalkan,” seketika Joshua mendapatkan dua jempol.

Sandy mengamati bangku yang dulu didudukinya bersama Joshua dan bagaimana pertama kali mereka bertemu dan malu-malu untuk berkenalan. Joshua dan Sandy duduk dibangku paling belakang paling pojok, karena itu merupakan tempat ternyaman dikelas. Dari sana mereka bisa mengamati semua murid-murid. Apalagi slogan Joshua ‘tempat duduk menentukan prestasi’ yang kadang dibantah oleh Kevan bahwa hanya ketekunan yang menentukan prestasi seorang murid, bahkan otak pun belum cukup sebagai modal menjadi siswa berprestasi jika tidak disertai tekun dan rajin belajar.

Didepan mereka duduk Kevan dan Anwar. Pada mulanya mereka murid kalem dan anak kesayangan guru, tetapi itu tiga bulan pertama karena semenjak mereka dekat dengan Sandy dan Joshua, predikat itu tak lagi melekat pada mereka. Mereka berempat sering bertukar bangku, kadang-kadang hanya untuk mengganti suasana atau untuk menggoda Susi, siswi tercerewet dan nyebelin di kelas mereka, yang duduk didepan Kevan dan Anwar, tetapi seringnya mereka bertukar kunci jawaban dan lebih sering lagi Kevan yang memberikan kunci jawaban pada Sandy dan Joshua.

Yang terlihat paling senang tentu Joshua karena waktu kelas satu dia belum semerana sekarang atau belum mengenal yang namanya narkoba, kebandelannya hanya sebatas bolos sekolah, atau mencontek, atau mengganggu murid-murid cewek yang selalu dihalangi oleh Anwar, sampai Sandy memisahkan mereka.

Sandy ternyata menemukan bermacam-macam spidol warna warni di lemari belakang sekolah yang kebetulan tidak terkunci, dan dia mencoba menggambar sesuatu di papan tulis.

“Masih jago gambar lu San,” tanya Anwar.

Natasya sepertinya kagum. ”Emang mas Sandy bisa gambar.”

“Bisa dong apa sih yang gue nggak bisa?” Sandy terlihat menyombongdiri didepan Natasyan jika Natasya orang yang paling rajin diantara mereka maka bisa dibilang Sandy merupakan orang yang paling kreatif.

“Halah baca novel satu aja nggak kelar-kelar,” Sandy teringat akan tugas merangkum novel tetapi karena masih mempunyai waktu beberapa hari lagi maka tak dihiraukannya masalah itu.

“Gampang itu mah, kalau ini tuh baru enggak semua orang bisa,” Sandy melanjutkan sketsanya.

Lihat selengkapnya