28 Juli 2015
Pagi ini keadaan rumah masih seperti kemaren, belum ada kabar dari polisi ataupun kenalan mamanya Sandy mengenai keberadaan Natasya, begitu juga penyelidikan mengenai ayah Natasya. Kadang Sandy merasa percuma lapor kepada polisi karena progres yang didapatkan tidak seberapa jika kita mencarinya sendiri, lagipula biasanya mereka hanya mau bekerja jika ada amplop tambahan. Kabar terkini yang baru saja diketahui Sandy bahwa ternyata ayah Natasya pernah ditahan dan sudah keluar sekitar tiga bulan yang lalu, tetapi berdasarkan info terkait ayah Natasya sedang tidak berada di Jakarta, apa mungkin Natasya menyusul ayahnya dikota tertentu, tetapi darimana ia tahu nomor Natasya, mamanya beranggapan bahwa bisa saja ayahnya datang kerumah dan membawa Natasya, namun ada yang bilang kalau tetangganya melihat dia pergi keluar sendirian tanpa didampingi siapa pun.
Kevan dkk datang kembali kerumah Sandy tepat pukul jam dua belas siang. Sampai saat ini mereka juga belum mendapatkan perkembangan yang berarti. Ada rasa penyesalan di wajah mereka karena sampai detik ini tidak menyangka bahwa liburan menyenangkan yang mereka lalui dalam dua bulan ini bisa berakhir dengan kepergian Natasya yang tidak diketahui keberadaannya.
“Lu beneran udah tanya keSEMUA teman Natasya atau kenalan dia disini,” tanya Joshua memastikan bahwa tidak ada satu orang pun yang terlewat dimintai keterangan.
“Udah, semua pada bilang enggak tahu, bahkan isi percakapan mereka di telepon udah diperiksa dan enggak ada hal aneh,” terang Sandy. Tetapi ada satu orang yang seharusnya dia temui untuk memastikan tetapi ia sungguh merasa segan datang kepadanya, lagipula Sandy sendiri sangsi akan mendapatkan titik terang jika bertanya kepadanya. “Lu semua kenal Januar kan tetangga depan rumah gue.”
Mereka semua mengangguk. “Januar yang teman main lu dulu kan yang sekarang udah enggak pernah ngomong lagi,” jawab Anwar. “Memangnya kenapa sama teman lu itu.”
“Dia sebenarnya sempat aktif juga dikarang taruna dan pernah beberapa kali pulang bareng sama Natasya, menurut lu dia ada hubungannya sama kepergiannya Natasya.”
“Maksud lu mereka berdua kabur gitu,” kata Anwar dengan pernyataan yang sangat melenceng dan tidak masuk akal.
“Bukan, Januar sendiri ada dirumahnya, semalem gue lihat dia mondar-mandir kayak lagi memikirkan sesuatu, siapa tahu ada yang lagi disembunyikan.”
“Jadi dia yang culik Natasya,” tebak Anwar lagi yang pikirannya memang sudah pergi kemana-mana.
“Bukannya kata lu itu anak kuper dan kutu buku gitu, mana mungkin punya pikiran kayak gitu, lagian kan semua tetangga lu udah diperiksa sama polisi juga, masa enggak ketahuan.”
“Jangan salah justru orang-orang yang kayak gitu yang patut dicurigai, pelaku kasus penculikan atau pembunuhan biasanya orang yang kelihatannya baik dan rajin tapi nyatanya berkebalikan,” sahut Kevan, itu semua berdasarkan pengamatannya melalui film yang pernah ia tonton.
Sandy jadi terus kepikiran. “Tetapi mamanya dekat sama mama gue, kayaknya enggak mungkin, dia juga orangnya canggung gitu, enggak mungkin punya pikiran jelek,” Sandy hanya meyakini bahwa teman mainnya dulu bukan orang seperti yang dipikirkan Anwar, hanya saja ada sesuatu dibalik semua ini, seperti ada sesuatu yang terlewat yang diabaikan oleh Sandy dan bisa jadi sesuatu yang terlewat itu ada hubungannya dengan hilangnya Natasya. Andai saja instingnya bisa setajam Sherlock Holmes mungkin saja ia bisa memecahkan teka teki hilangnya sepupunya itu.
Sahabat Sandy masih menemani Sandy dirumah sampai pukul sepuluh malam, sebenarnya Kevan memaksa untuk menginap tetapi Sandy sadar bahwa lusa depan mereka sudah harus balik kekampus masing-masing sehingga tidak mau memberatkan pikiran mereka. Sandy sendiri pun juga seharusnya bere-beres untuk menyiapkan keperluan untuk semester depan yang akan segera dimulai, tetapi jika keberadaan Natasya belum juga mendapatkan hasil yang positif, maka dia pun tidak akan bisa fokus pada kuliahnya.
Pukul sepuluh lewat, Kevan dkk akhirnya undur diri. Sandy menemani mereka sampai ujung gang, hanya sekedar menghirup udara segar yang dia perlukan karena semenjak tadi terus didalam rumah. Sewaktu Sandy membuka pagar, Januar sedang mondar-mandir didepan terasnya, mata keduanya sempat bertemu pandang dan saling mengartikan sesuatu, ketika Joshua menyikut tangan Sandy untuk menghiraukannya, mereka berempat akhirnya pergi menjauhi Januar yang wajahnya dipenuhi kegelisahan.
“Tuh kan lu lihat mukanya kayak mencurigakan gitu, tipe psikopat,” kata Anwar masih meyakini pendiriannya mengenai ciri-ciri pelaku kejahatan.
“Ngaco aja lu,” sergah Joshua. “Muka-muka orang pintar kan memang gitu rata-rata, kebanyakan nonton film aneh sih lu.”
“Berarti Kevan bisa dicurigai sebagai psikopat juga dong.”
“Kalau gue psikopat, seluruh keluarga gue udah habis dari dulu,” bantah Kevan. “Udah deh jangan berspekulasi lagi, hal serius kayak gini dibercandain,” Kevan melirik Sandy yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
Diujung jalan mereka berpisah dengan ucapan saling menguatkan. Ada keraguan dalam diri Sandy dengan perhatian yang diberikan oleh sahabat-sahabatnya, dan sepertinya Sandy tidak bisa membalas satu persatu kebaikan mereka. Sandy berjalan lambat pulang kerumahnya, seakan-akan sudah hilang keinginannya untuk pulang jika Natasya tidak ada dirumah, tetapi jika mamanya bisa melewati semua ini, harusnya dia juga bisa.
Didepan pagar saat Sandy membuka pintu pagarnya, ada panggilan dari belakang dan Januar sudah berdiri tidak jauh dari Sandy. Ada kecanggungan dalam suara Januar karena sudah bertahun-tahun tidak lagi saling menyapa, dan ini adalah ucapan pertamanya sejak mereka tidak lagi menjadi kawan.
“Ada yang mau gue bicarakan,” Sandy memperhatikan sikap Januar yang seperti orang serba salah, lalu ia melihat tangan Januar merogoh sesuatu dikantongnya dan kemudian menyerahkan sebuah telepon genggam kepada Sandy. Ia melihatnya dengan seksama dan ternyata itu adalah telepon genggam milik Natasya. “Ini kan punya Natasya kok bisa ada di lu,” Sandy mengambil telepon genggam itu dan meraih baju Januar untuk memaksanya bicara, terlihat kemarahan pada wajah Sandy, seakan-akan tebakan Anwar tadi memang benar.
“Gue bisa jelasin San,” kata Januar sedikit ragu, ditambah sikap Sandy dengan wajah penuh amarah.
“Jelasin apa, jadi selama ini lu tahu dimana Natasya?”
“Tunggu dulu, ini handphone Natasya yang kasih ke gue,” jawab Januar merasa bersalah.
Tidak sabar Sandy langsung memukul wajah Januar. “Kenapa lu enggak ngomong dari kemaren.”
“Natasya yang nyuruh supaya gue enggak ngomong ke siapa-siapa,” sergah Januar.
“Terus sekarang dia ada dimana.”
“Gue sendiri juga enggak tahu.”
Kesabaran Sandy memuncak dan tinju kedua siap diluncurkan jika memang diperlukan. “Gimana bisa enggak tahu, teleponnya ada di elu, kalau lu enggak ngomong sekarang gue bakal lapor ke polisi sekarang juga.”
“Tunggu,” kata Januar menghalangi. “Oke gue ngomong tapi gue mohon jangan bawa-bawa polisi, soalnya sekarang dia lagi sama ayahnya.”
“Lu tahu dia ada dimana?”
“Enggak tapi lu bisa hubungi dia pakai telepon ini, katanya nomor ayahnya tersimpan didalam kontak handphone ini.”
Sandy mengambil telepon genggam milik Natasya lalu menyalakannya, benar saja disana ada tersimpan nomor dengan tulisan ‘Ayah’. Lalu Sandy berusaha menelepon ke nomor tersebut. Dan benar tidak lama kemudian terdengar suara Natasya.
Natasya menjelaskan mengenai kepergiannya juga rasa bersalah karena tidak meminta izin kepada mama Sandy, tetapi itu dilakukan agar dia bisa pergi dengan ayahnya. Beberapa hari lalu Natasya bertemu dengan ayahnya didepan komplek rumah. Ayahnya menceritakan kalau ia baru tahu ibunya sudah meninggal dari kenalan ibunya. Kemudian ayahnya berusaha menyelusuri keberadaan Natasya dan seminggu yang lalu dia tahu kalau Natasya saat ini tinggal dengan budenya di Jakarta dan sudah dua hari menunggu Natasya didepan komplek rumah. Ayahnya tidak berani menampakkan diri dirumah mama Sandy karena takut terjadi kejadian seperti dulu yang menyebabkan keributan.
Lalu ayahnya mengajak Natasya untuk menghabiskan waktu berdua saja disalah satu losmen di Jakarta. Waktu Natasya pergi sebenarnya ia ingin menghubungi Sandy tetapi dia tidak mau mengganggu acara reuni Sandy dan teman-teman SMAnya, makanya dia memberitahu Januar. Sebenarnya Natasya bermaksud pulang hari ini tetapi ayahnya kehabisan tiket kereta api dan baru besok akan pergi.
Dengan kehati-hatian Sandy memberitahukan pembicaraannya dengan mama dan pakdenya. Awalnya mereka kesal karena kepergiannya membuat mereka gelisah hingga melibatkan pihak polisi, tetapi Sandy meyakinkan mamanya agar masalah ini diselesaikan secara baik-baik. Setelah melalui pembicaraan yang panjang dengan pakdenya, akhirnya kemarahan mama Sandy reda dan jika Natasya nanti pulang, mereka tidak akan memperpanjang urusannya dengan ayah Natasya.
29 Juli 2015
Hari ini untuk terakhir kalinya Sandy dan teman-temannya berkumpul di rumah Sandy. Mereka semua sedang menunggu kedatangan Natasya yang akan pulang sehabis mengantarkan ayahnya ke stasiun. Tak ada keceriaan yang terlihat diwajah mereka hanya sisa-sisa sedikit tawa mengenang kebersamaan mereka selama dua bulan terakhir ini serta keceriaan acara reuni kemaren di puncak.
Sore sekitar pukul lima sore akhirnya Natasya menampakkan diri didepan rumah. Sandy yang langsung melihatnya langsung memeluknya begitu juga dengan mamanya dan pakdenya. Tak lupa Kevan dkk juga memeluknya belakangan. Natasya kemudian meminta maaf kepada mama Sandy atas kepergiannya yang mendadak dan tanpa kabar, dia tahu hal itu merupakan kesalahannya dan memohon sangat agar tidak menyalahkan ayahnya atas peristiwa kemaren. Mama Sandy dengan senang hari memaafkan, apalagi dia sudah berjanji kepada Sandy untuk tidak menyalahkan siapa pun atas kejadian beberapa hari belakangan ini.
“Sehat Tasya,” kata Kevan membuka pembicaraan setelah semuanya masuk kedalam rumah.
“Alhamdulillah mas,” jawab Natasya pelan.
“Jadi om sudah pulang ke Kediri naik kereta,” tanya Sandy.
“Iya mas, tadi sudah Tasya antar, ayah ingin tinggal disana sementara waktu sampai punya pekerjaan tetap, dan membiarkan Natasya tinggal disini dulu.”
“Syukur deh kalau begitu.”
Setelah makan malam bersama, perlahan-lahan Natasya mulai kembali seperti sedia kala, seakan-akan masalah beberapa hari terakhir tidak pernah terjadi. Kami mengobrol banyak khususnya mengenai acara reuni yang diikuti oleh Sandy dkk, bahkan Sandy sampai lupa untuk menghubungi Cindy menanyakan apakah dia sudah sampai rumah atau belum.
“Telat, dia pasti udah ada dikosannya,” timpal Anwar.
“Kayaknya rencana Sandy gagal lagi untuk mendapatkan cinta pertamanya.”
“Memangnya seperti apa sih cinta pertama mas Sandy, Tasya jadi penasaran,” tanya Natasya kepada Kevan penasaran.
“Cantik kok, baik, dan ramah lagi, cuma sayang aja nasibnya sial karena punya pacar kayak Sandy,” merasa dihina, Sandy menonjok bahu Anwar.
“Lu tuh yang sial punya pacar kayak Farah.”
“Gue enggak merasa sial, semua kejadian itu pasti ada hikmahnya, gue jadi tahu mana cewek yang baik buat gue mana yang enggak,” kata Anwar sambil melirik Natasya yang tertawa karena ucapan Anwar.
Malam sudah semakin larut, dimalam terakhir mereka bersama tampak raut kebahagiaan menyertai, mereka saling melempar canda tawa, khususnya Natasya yang sudah tidak terlihat lagi kesedihan karena kehilangan ibunya telah digantikan akan hadirnya mama Sandy serta kerinduannya dengan ayah tercinta sudah terobati dengan pertemuan selama beberapa hari ini. Sekitar pukul sebelas malam, sahabat Sandy sadar sudah waktunya mengakhiri pertemuan ini, apalagi Kevan dan Anwar mesti bersiap-siap berangkat ke Jogja dan Malang besok.