Homoromantic

Zakka Nabil Al-Aqra
Chapter #1

#1 Zakka.

Zakka menatap deretan bungkus snack yang menggembung di rak minimarket. Tangannya maju-mundur, mengambil satu bungkus keripik kentang, lalu meletakkannya kembali. Ia memalingkan badan, menarik napas panjang—sebelum akhirnya berbalik lagi menghadap rak itu, seolah terikat oleh sebuah mantra.

“Kalo gua beli ini… Papi pasti ngomel. Katanya bentar lagi bakal keluar rasa limited edition,” gumamnya lirih, berbicara pada deretan olahan tepung ber-MSG itu. “Tapi… pengen banget.”


Di usia sembilan belas tahun, hidupnya baru saja dipaksa berbelok arah. Setelah delapan belas tahun dimanja, Papi dan Mami sepakat: Zakka harus belajar mandiri. Dia kini tinggal di dorm mahasiswa—tempat yang nyaman, tapi jauh dari kemewahan rumahnya yang serba ada.


Selain akan kuliah, Zakka juga kerja di toko roti keluarga temennya, Bu Via. Itu pun bukan karena dia butuh kerjaan, tapi karena orang tuanya cuma mau ngasih uang saku kalau dia kerja. Awalnya sih dia santai-santai aja. Tapi setelah tiga bulan, dia mulai sadar kalau “ngatur uang” bukan bakat alaminya.


Apalagi waktu itu dia sempat kalap beli action figure yang harganya nyaris setengah dari gajinya. Sekarang, tiap kali lihat harga barang, otaknya langsung berhitung cepat: masih bisa beli cilok nggak minggu ini?


Deretan makanan ringan itu seakan makin menggodanya, dan dilema di dadanya makin besar. Kalau pun uangnya habis, dia masih bisa makan tiga kali sehari di dorm. Tapi tetap aja, hidup tanpa jajan rasanya kayak kehilangan separuh makna hidup.


Sudah lima menit ia berdiri di situ, memandangi rak dengan wajah penuh penderitaan. Akhirnya ia menarik napas dalam, siap-siap pergi tanpa membawa snack apa pun. Tapi mungkin angin di minimarket itu ikut gemas melihat Zakka. Saat ia melangkah menjauh, hembusan angin entah dari mana membuat beberapa bungkus snack jatuh berdebam ke lantai.


Zakka membeku—seakan habis melakukan kejahatan padahal hanya menjadi tersangka yang menjatuhkan beberapa bungkus snack.


Dan sialnya, ia nggak sendirian di lorong itu. Ada seorang cowok berdiri tak jauh darinya, keranjang belanja di tangan. Matanya tertuju pada Zakka dan snack yang berserakan.

Sadar bahwa ia di amati, Zakka berbalik sambil cengengesan, wajahnya jelas-jelas malu. “Hehe… maaf ya, Mas,” katanya sambil buru-buru jongkok, memunguti bungkus snack yang jatuh.

Cowok itu hanya tersenyum tipis, mengangguk pelan.

Lihat selengkapnya