Keesokan harinya, Gusti bisa merasakan tatapan tajam Sabri saat ia baru saja memarkir motor di parkiran sekolah, dengan Velya turun dari boncengan. Sebenarnya Sabri tadi minta jemput supaya mereka berangkat sekolah bersama. Namun, Gusti menolak karena harus berangkat dengan Velya. Sebenarnya bisa saja dia menjemput Sabri dan berangkat dengannya. Andai saja Velya tidak sedang kesal kepada Chiko, cewek itu pasti berangkat sekolah dengan Chiko. Sial bagi Gusti, kedua sahabatnya itu, lagi-lagi, sedang berselisih karena masalah yang tidak jelas.
Gusti sudah tahu apa yang akan terjadi pada hubungannya dan Sabri setelah ini. Terutama saat melihat cewek itu membuang muka dan berjalan dengan langkah lebar menuju kelas. Gusti melirik Velya yang berjalan di sebelahnya. Tampak polos seperti biasa.
Velya tidak pernah sadar kalau dia sering menjadi sumber masalah bagi hubungan percintaan Chiko dan Gusti.
“VELYANATA!”
Gusti menoleh, melihat Chiko berjalan cepat ke arah mereka dengan wajah menahan marah. Teriakan murka itu sama sekali tidak membuat si cewek pemilik nama tertarik untuk menoleh, atau sekadar memelankan langkah. Dengan santai, dia tetap berjalan menuju kelas, mengabaikan si pemanggil yang jelas-jelas sedang merasa gusar kepadanya.
“Velya! Lo beneran minta dijadiin sate, tahu, nggak!”
“Lo ngapain lagi, Vel?”
Velya melirik Gusti sebelum menoleh sekilas ke belakang. Chiko mengambil dua langkah lebar dan berhasil menyusul Velya.
“Lo ngomong apa ke Cindy?” Chiko memelototi sahabatnya itu.
“The truth?” Velya mengedikkan bahu.
“Lo bilang ke dia, gue belum sunat karena takut? Itu fitnah keji!”
Gusti melongo sementara Velya terkikik.
“Nggak lucu!” omel Chiko. “Sekarang pokoknya gue mau lo bilang ke Cindy kalau itu cuma bercanda!”
“Ogah. Bilang aja sendiri.” Velya mendorong Chiko menjauh dan meneruskan langkahnya. “Lagian, lo sunat apa enggak memang ngaruh buat dia? Gitu doang bikin dia mundur, artinya dia nggak serius sama lo.”
“Bukan itu masalahnya ....” Chiko menahan diri untuk tidak mencekik cewek itu. “Sumpah, Vel. Lo malu-maluin gue banget. Harga diri gue udah hancur gara-gara fitnah lo. Kalau sampai fitnah lo itu nyebar, habis sudah reputasi gue, Vel. Habis!”
“Apaan, deh, drama banget.” Velya mengibaskan rambutnya dengan santai. “Udahlah, lihat sisi positifnya. Dia jelas-jelas nggak serius, cuma mau manfaatin lo. Cewek nggak beres gitu, kok, dideketin.”
“Lo yang nggak beres,” dumel Chiko, gondok setengah mati. “Lagian gue juga masih belum mau serius, kali. Tapi, bukan berarti semua hubungan gue bisa lo bikin kacau balau gini, dong!”
Velya mengabaikan ocehan Chiko selanjutnya dan memilih berbelok memasuki ruang kelas. Untunglah mereka tidak satu kelas, jadi dia bisa terbebas dari omelan penuh drama ala cowok itu.