“Leng! Makin hitam saja kulitmu dan makin buruk saja wajahmu! Tidak akan ada laki-laki yang ingin kawin denganmu jika rupamu terus seperti itu!” ujar Atjia, ibuku setiap kali aku keluar untuk bermain.
Aku ingin sekali menyahut, “Biar saja. Aku tak ingin kawin dan menjadi seorang istri yang menderita sepertimu, Atjia,” tapi tentu saja aku tak pernah berani mengatakan itu.
Leng. Itu namaku. Nama yang sangat umum anak perempuan di lingkunganku, sedikit di luar kota Fuqing, provinsi Fujian, Tiongkok Tenggara, tidak jauh dari lembah sungai Longjiang. Kami yang tinggal di daerah Fuqing dan sekitarnya menyebut diri kami Huchianeng.
Agong, kakekku memiliki sawah warisan yang cukup luas yang digarapnya bersama para anak dan menantu lelaki dan perempuan-nya. Aku terbiasa ikut membantu bertani sejak kecil. Kami memiliki beberapa ekor kerbau. Yang paling kusayangi adalah kerbau betina kecil yang kuberi nama Gu.
Kulit wajahku merah kecoklatan karena selalu bertani dan bermain di bawah matahari Fuqing yang seringkali amat terik, terutama di musim panas. Hari-hari itu tidak banyak anak yang bersekolah di lingkunganku. Meski begitu, aku bisa membaca sedikit aksara.
Pakaianku sehari-hari tidak jauh berbeda dari anak-anak lelaki. Kami sama-sama memakai celana longgar yang amat nyaman dipakai berlari dan melompat. Perbedaan hanya pada kancing kemeja kami. Kancing kemeja lelaki lurus dari leher sampai ke perut. Aku lebih nyaman memakai kemeja seperti itu bekas abangku, daripada kemeja perempuanku. Kancing kemeja perempuan miring dari leher sampai ke dada, dan untukku letak seperti itu amat menyebalkan karena lebih sulit dibuka tutup. Saat buah dadaku belum tumbuh menonjol, aku tak memakai apa-apa di dalam kemejaku.
“Larimu lamban seperti nenek-nenek, Hui!” ujarku saat berlomba lari dengan Hui, salah satu teman lelakiku.
“Tentu saja kau menang, Leng. Kau cucu seorang jagoan kungfu!”