Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #4

Rumah Besar di Fuqing

Sejak amat kecil aku tahu, ada banyak rahasia amat gelap di rumahku. Selalu ada yang memberitahuku.

Aku tumbuh dalam rumah besar berwarna kelabu yang sudah ada sejak zaman kakek buyut dari kakek buyutku. Bangunan utama ditempati oleh kakek, nenek dan anak-anak mereka yang belum menikah. Di dalam pekarangannya ada beberapa bangunan rumah yang lebih kecil, tempat anak-anak laki-laki kakek yang sudah berkeluarga. Di bagian paling belakang adalah tempat para bujang dan pembantu beserta keluarga mereka.

Anak-anak perempuan harus meninggalkan rumah saat mereka menikah. Adalah aib bagi seorang lelaki jika dia tak sanggup menyediakan tempat tinggal bagi keluarganya, dan menumpang pada keluarga istrinya.

Adalah aib juga bagi seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya karena kematian atau perceraian dan pembuangan, untuk kembali ke rumah ayahnya. Yang terakhir itu terjadi pada salah satu bibi buyut kakekku. Dia menjadi selir seorang kaya di Fuzhou, di Selatan Fuqing. Suaminya membuangnya karena sejak kehadirannya, orang-orang di rumahnya sering jatuh sakit dan tiba-tiba mati, termasuk istri tua si orang kaya. Pendeta Tao yang ditanyai suaminya menunjuk bibi buyut kakek sebagai penyebabnya. Si pendeta bahkan menemukan benda-benda yang sering digunakan untuk guna-guna di kamar sang selir.

Dia pun diusir suaminya dan kembali ke rumah besar itu, hanya untuk menjadi cemoohan dan sindiran seluruh isi rumah dan tetangga. Dia bunuh diri tak lama setelah kembali karena tak tahan dengan semua gunjingan. Sejak itu, semua dilarang menyebuttkan namanya lagi, dan dia pun segera dilupakan. Namun, aku tahu dia masih berada di sekitar rumah besar itu bahkan lama setelah kematiannya.

Di rumah keluargaku, kekerasan yang berasal dari mulut dan tangan adalah pemandangan yang ada setiap hari. Appa membentak dan menampar Atjia, sesudah itu baru menampar kami, anak-anaknya. Untuk alasan apa? Itu tidak penting. Ada kesalahan ataupun tidak, Appa akan selalu murka, apalagi jika habis minum ciu. Pada gilirannya, Atjia akan membentak dan menampar kami, para anak, karena tidak berani membalas tamparan Appa. Dalam hatiku, aku bersumpah, aku tidak akan menjadi istri dan ibu seperti Atjia.

Tubuh Atjia kurus dan ringkih dan hidupnya tak pernah sehari pun bahagia dengan ayahku yang berangasan, selalu menyakiti dan tak pernah puas di ranjang, seperti sering diteriakannya tanpa malu saat mabuk, dan itu cukup sering terjadi.

Lihat selengkapnya