Suatu petang saat aku berusia empat tahun, aku berjalan bersama Agong. Hari mulai gelap, menyisakan cahaya merah matahari yang tertutup awan gelap. Pada sebuah persimpangan, aku melihat tiga orang berpakaian aneh sedang menatap ke arah kami. Tidak jelas juga apakah mereka lelaki ataukah perempuan. Wajah mereka tidak kelihatan seperti manusia umumnya Pucat, bibir mereka hitam dan mata mereka merah. Agong memegang tanganku erat-erat sambil menatap mereka tajam.
“Siapa mereka, Agong?”
Agong tak menjawabku. Matanya beralih menatapku. Dalam dan tajam.
“Berapa yang kau lihat?” tanyanya kemudian.
“Tiga. Tampang mereka aneh,” jawabku.
“Mereka tidak mengganggu. Tidak usah takut,” katanya kemudian.
Aku tidak takut. Itu bukan kali pertama aku melihat penampakan mahluk-mahluk aneh seperti itu. Tapi itu kali pertama Agong mengetahui bahwa aku bisa melihat mereka.
Aku seringkali jatuh sakit. Kata ibuku, saat sakit, dahiku lebih panas dari arang. Yang paling kubenci saat sakit bukanlah penyakit itu sendiri, tetapi obat ramuan ibuku yang baunya membuatku ingin pingsan saja. Jika aku menolak meminumnya, Atjia akan menghardikku dengan lengkingan suaranya yang seperti kera dicekik. Jika aku memuntahkan obat itu, sudah pasti tempelengan Atjia yang akan kuterima, yang pasti hanya membuatku semakin sakit.
Atjia anak seorang tabib yang dulu terkenal pandai. Dia tahu cara meramu berbagai obat. Saat aku cukup besar, dia memaksaku belajar meramu beragam ramuan dari berbagai bahan dengan beragam khasiat dan tujuan. Pelajaran-pelajaran itu membuatku amat menderita karena bau berbagai bahan mentah itu maupun ramuan yang sudah dimasak selalu membuat seluruh isi perutku ingin keluar.
“Besok kau harus membawakan semua yang tadi kupinta. Kau akan kurotan jika ada yang terlupa!” ancam Atjia dengan suara parau melengkingnya.
Begitulah, seringkali aku harus melupakan keinginanku bermain, dan harus masuk hutan untuk mencari beragam tanaman yang harus kuingat di luar kepala. Setelah itu aku harus mengikutinya mengolah semua tumbuhan itu, dicampur dengan kodok dan kadal kering, empedu babi, berbagai keong, darah kura-kura, sampai kecoak kering. Entah kenapa, Mama tidak mengajarkan itu semua pada Keng dan Peng, sesuatu yang kurasakan amatlah tidak adil.