Bertahun setelah kematian Agong, nugui kembali datang padaku pada suatu malam yang amat gelap. Segera aku tahu akan ada celaka. Segera, Atjia mati menyusul Agong. Dia memang selalu sakit-sakitan dan hidupnya begitu gulita sejak dia kawin. Dia pandai meramu obat untuk orang lain, namun tak mampu meramu obat untuk membuatnya sendiri sehat, dan lebih dari itu, dia tak mampu meramu obat untuk membahagiakan hidupnya. Aku dan saudara-saudaraku tentu sedih, namun aku tak meratapinya seperti meratapi Agong.
Appa menyikapi kematian Atjia dengan raut yang sulit kutebak. Sepertinya perasaan takut yang tak kumengerti lebih menguasainya daripada perasaan sedih. Tentu saja, pikirku, dia tak mungkin sedih melihat kematian istri yang tak pernah dicintainya.
Sungguh, gambaran kami tentang Appa membuatku dan Peng tak ingin kawin. Namun Peng terlalu cantik untuk tidak segera dilamar seorang lelaki she Chou yang beruntung dari kota Putian, dan aku terlalu buruk rupa untuk dilamar siapa pun.
Seperti dugaanku dan semua orang, Peng mendahului aku kawin. Sesuai adat, dia wajib memberikanku seperangkat pakaian dan perhiasan yang sebetulnya tak kuperlukan. Peng menikah setahun setelah kematian Atjia. Aku sangat berbahagia untuknya, meski sejak kecil selalu diperbandingkan dengan dia yang begitu cantik, lembut dan putih. Di hari pernikahannya, aku berharap semua pembandingan itu akan berhenti.
Hidupku dan semua orang di Cungkuo kemudian berubah selamanya. Tentara Jepang datang dan para pemuda kami bersiap untuk pergi memerangi mereka, termasuk teman-temanku Lung, Song dan Hui. Keng, yang pernah terjatuh dari atas pohon dan satu kakinya pincang, tidak terpilih masuk tentara. Aku tak tahu apakah dia merasa beruntung tidak harus ikut perang, ataukah mengutuki kepincangannya dan merasa tidak berguna untuk Cungkuo. Dia kemudian kawin dengan Fang, seorang perempuan bertubuh gemuk pendek dan bermuka bundar yang amat penggunjing dari desa sebelah.
Kami para gadis sempat menggoda para pemuda di hari keberangkatan mereka, “Pergilah, kalahkan Jepang! Jika menang, kau boleh kawin denganku.” Seragam prajurit yang mereka kenakan masih sangat baru dan disetrika licin. Semua masih bisa tertawa saat itu.
Keng meninggalkan rumah setelah kawin karena dia merasa tak akan sanggup terus hidup serumah dengan Appa. Hanya tinggal aku dan Appa di rumah. Tak lama setelah perayaan Imlek dan Capgomeh, yang tahun itu pasti terasa begitu suram di seluruh Cungkuo, ayahku memanggilku bicara. Aku tak pernah dekat padanya. Kulihat dia sebagai sosok bertubuh dan bermata kecil yang pemberang dan bersuara seperti guntur yang menakutkan. Jika dia tiba-tiba mengajakku bicara, pastilah sesuatu yang penting atau menakutkan, atau keduanya, segera akan terjadi padaku.
“Leng, saat ibumu sekarat, aku berjanji padanya untuk mencarikan suami yang baik bagimu. Usiamu sudah dua puluh empat. Adalah aib bahwa perempuan seusiamu belum juga kawin, dan aib bagiku punya anak yang terus dikatai perawan tua oleh saudara dan tetangga. Adik dan semua sepupumu kawin sebelum usia delapan belas. Bergembiralah, Mak Comblang Heng telah cukup melihatmu dan berhasil mencarikan suami bagimu! Minggu depan keluarga Ong akan melamarmu untuk anaknya, Yung.”
“Tapi aku tak pernah mengenalnya, Appa!” kataku terkejut dan marah.
Oh, jadi si Mak Comblang Heng, perempuan bungkuk berhidung bengkok menakutkan yang beberapa kali datang dan memperhatikan aku dari atas sampai bawah tubuhku, terutama buah dada dan pantatku, telah menemukan jodoh bagiku, dan aku diharuskan merasa bahagia? gerutuku dalam hati. Jika saja aku tahu rencananya, akan kutinju saja wajah buruk perempuan tua itu saat ada kesempatan, agar dia segera kabur dan tak mau lagi berurusan denganku.