Hari yang kutakuti akhirnya tiba. Rombongan calon suamiku datang bersama Mak Comblang Heng. Untuk pertama kalinya kutemui Yung, lelaki tinggi besar dan tambun dan terlihat amat tua, yang bau ketiaknya membuatku mual bahkan saat dia mengenakan pakaian terbaiknya yang kesempitan. Mungkin baju kakek buyutnya yang dipinjamnya. Apakah dia tak mandi sebelum memakai pakaian bagusnya? Pikirku sambil menunduk, membayangkan apakah aku akan tahan mencium bau seperti itu seumur hidupku. Aku menyalami calon mertuaku dan calon suamiku dengan sesopan mungkin.
Mereka berbasa basi, diatur oleh Mak Comblang Heng, untuk mengajukan lamaran. Ayahku langsung menegaskan persetujuannya. Hari pernikahanku ditentukan satu bulan sesudahnya.
Mak Combang Heng berkunjung sebelum hari pernikahan.
“Hargai usahaku, Pak Tong. Tidak mudah meyakinkan lelaki keluarga Ong itu untuk mau menerima perempuan shio macan yang tidak menarik seperti Leng. Kukatakan bahwa mereka akan rugi melepaskan kesempatan memiliki perempuan baik dan sopan dengan kaki dan tangan pekerja keras dan buah dada besar dan pinggul lebar yang siap melahirkan dan menyusui banyak anak. Kukatakan bahwa Leng memang tidak sekolah namun sama sekali bukanlah perempuan bodoh.”
Begitulah kata-katanya kepada ayahku. Si tua Heng itu rupanya menawarkanku kepada keluarga Ong seperti menawarkan seekor sapi perah gemuk atau kerbau penarik bajak yang bertenaga besar. Ayahku mengangguk-angguk dengan gembira.
“Hen hao, Heng taitai1! Luar biasa kebaikan Anda. Ini tanda terima kasih kami” kata Appa sambil membayar si Heng itu dengan tertawa-tawa dan memujinya, sesuatu yang amat jarang dilakukan Appa yang biasanya amat pelit dan selalu bermuka masam. Dua beban beratnya akan segera lepas dalam beberapa minggu. Beban memberi makanku, dan beban menanggung malu memelihara seorang perawan tua di rumahnya. Heng berlalu sambil tertawa-tawa kegirangan mengantongi uang dari ayahku.