Beberapa minggu kemudian, Appa jatuh sakit, Dia menanggung derita hebat penyakit yang aneh. Dia tak henti-hentinya kencing dan mengeluarkan tahi cair dari duburnya, meski hampir tak makan dan minum apa-apa. Kamar tidurnya dipenuhi bau kencing dan tahi. Raungan kesakitannya menakuti kami semua yang mendengar. Bahkan tabib yang sudah biasa melihat orang sekarat pun ketakutan mendengar raung kesakitannya.
Di hari-hari terakhirnya, dia terlihat sangat ketakutan. Matanya membelalak seperti melihat sesuatu. Aku tahu, meskipun “sesuatu” itu tidak menampakkan diri kepadaku. Aku hanya bisa menerka dari baunya yang bisa kuhidu. Bau ramuan obat yang dulu selalu membuatku ingin pingsan. Bau itu bisa kubedakan dari bau kotoran yang memenuhi kamar Appa ataupun bau obat yang disediakan tabib.
“Setan perempuan penyihir! Kau siksa aku seperti mengiris babi! Cepat cabut saja nyawaku sekarang!” Dia meneriakkan itu sambil tampak menahan rasa sakit yang amat sangat di perut dan selangkangannya. Gerak tangannya tampak seperti berusaha mengusir sesuatu di depan wajahnya.
Pada suatu tengah malam, kesakitannya mencapai puncaknya, sampai dia tak bisa meraung lagi. Dia terdiam malam itu. Untuk selamanya. Kedua matanya terbuka membelalak. Aku, Keng dan Peng bingung. Kami sedih namun tidak mampu menangisi Appa. Kepahitan kami selama berpuluh tahun hidup bersamanya memupus semua rasa cinta kami kepadanya.
“Apa sebenarnya penyakitnya, Tuan Tabib?” tanya Keng.
“Saya tak pernah bertemu penyakit seperti ini selama menjadi tabib,” kata si tabib dengan raut wajah masih menunjukkan kengerian. Maaf, tadi saya melihat tubuhnya yang telanjang. Dan … dan … maaf, saya lihat … kemaluannya menyusut dan membusuk,” jelasnya.
Aku segera tahu, kutuk yang pernah diteriakkan ibuku sudah menimpa Appa. Atjia tak kuasa membalas kejahatannya selama hidupnya. Dia membalasnya dalam matinya. Dialah yang dilihat Appa di saat akhirnya. Dia juga hadir kepadaku dalam baunya.
Hari setelah pemakaman Appa, aku menyempatkan diri mengunjungi rumah kakekku menjelang malam. Aku tak tahu kapan lagi akan pernah menginjak rumah itu.
Saat malam tiba, mahluk-mahluk penghuni rumah besar itu, dengan berbagai rupa, tingkah dan baunya, segera menampakkan diri kepadaku. Nugui melayang mendekat dan mengucap sesuatu kepadaku,
“Jadi kau akan pergi menyeberang lautan? Ingatlah, orang sepertimu sudah dikutuk untuk selalu bertemu mahluk-mahluk seperti kami di mana pun. Kau tak bisa lari!” katanya dengan sorot mata dingin menusuk, yang bagi orang lain pasti sudah membuat pingsan dan kerasukan. Aku segera teringat ramalan si ahli nujum menyebalkan di kuil, dulu sekali. Kalau dia selamat mencapai usianya yang ketujuh, dia akan pergi menyeberang lautan dan hidup lama, namun tetap saja roh-roh jahat akan terus mengincar hidupnya dan orang-orang yang dikasihinya. Jika dia bertahan, dia akan melindungi keturunannya dari serangan roh yang sangat jahat di seberang lautan,”
Beberapa hari setelah itu, aku dan Yung berlayar menuju tanah asing bernama Jawa. Di pelabuhan, Peng memelukku dan menangis. Keng terlihat sedih. Itu sangat mungkin akan menjadi pertemuan terakhir kami selamanya.
“Seperti apa Jawa itu, Yung?” tanyaku dalam perjalanan kapal ke Jawa. Itu kutanyakan saat kami tak sedang sibuk bersetubuh di kamar kapal yang sempit dan saat aku tak sedang muntah karena mabuk laut. Belakangan baru aku tahu, aku juga sering muntah karena ada penyebab lain.
“Tidak terlalu beda dengan Cungkuo, tetapi lebih subur. Segalanya mudah tumbuh di sana. Padi, sayur, buah, tebu, tembakau, teh, kopi, kelapa, sampai candu.”
“Bagaimana orang-orangnya?”