Tiga hal yang tak pernah kulihat begitu banyak seperti di Mantuong: orang-orang putih, kuda dan pelacur.
Mantuong! Kota di Jawa yang begitu dibangga-banggakan Yung akhirnya kulihat pertama kali dari jendela kereta api dari Pa-liang. Jendela kereta yang terbuka memperkenalkanku pada angin Mantuong yang sejuk dan segar seperti Fuqing di musim semi, jauh lebih menyenangkan daripada hawa Pa-liang, kota Jawa pertama yang kusinggahi, yang panas, lengket, banyak nyamuk dan kalinya berbau tahi.
Di dalam stasiun, kulihat begitu banyak orang-orang berkulit putih memakai pakaian yang kebanyakan juga putih. Yang laki-laki memakai jas, yang perempuan rok Eropa yang sebelumnya hanya kulihat gambarnya di koran-koran. Mereka kebanyakan memakai topi. Beberapa kelihatan masih murni berwajah Eropa. Banyak juga yang sepertinya sudah berwajah campuran. Kemungkinan mereka anak lelaki Belanda dengan perempuan huangiang. Kudengar dari Yung, percampuran seperti itu memang amat banyak terjadi di Mantuong. Mereka bercakap dengan bahasa yang sama sekali tak kumengerti dengan suara seperti mulut dikulum, dan hanya memandang sebelah mata kepada kami para tonneng dan huangiang.
“Tidak usah kau pedulikan. Memang begitulah sikap para Belanda itu. Apalagi Belanda Preanger1. Orang Belanda yang tinggal di kota Bandung saja tidak suka kepada sesama mereka sendiri, para Preanger yang kaya tapi kampungan dan sombong, yang biasanya masuk kota di akhir pekan untuk menengok anaknya yang bersekolah di asrama di sini, lalu memborong pakaian mewah di Braga, sudah itu berpesta di hotel Homann atau di gedung pesta yang hanya untuk kalangan mereka, dan beribadah pada hari Minggunya. Mereka punya agama sendiri yang berbeda dengan huangiang dan tonneng,” lanjut Yung.
“Tempat tinggal orang Belanda tidak bercampur dengan orang-orang bukan putih. Mereka kebanyakan tinggal di Utara jalan kereta, sedang tonneng tinggal di sini. Hanya tonneng kaya yang bisa punya rumah di daerah mereka,” kata Yung menunjuk pecinan yang padat dan becek di sekitar Pasar Baru, pasar besar dekat penginapan tempat kami sementara tinggal, saat Yung membereskan beberapa urusan usahanya dan rumah kami. Kuingat, saat di kereta api, para manusia kulit putih itu pun duduk di gerbong yang berbeda, tidak bercampur dengan kami. Rumah-rumah di pecinan yang kulihat mirip dengan rumah-rumah di Fuqing, hanya lebih kecil dan lebih baru dibangun. Kulihat banyak bubungan atap berbentuk ngungshan2 seperti di Fuqing.
“Huangiang tinggal di desa-desa di luar Mantuong, ataupun di gang-gang kumuh di dalam kota. Hanya para bangsawan mereka yang tinggal di rumah besar di kota,” lanjut Yung, menguliahiku perkenalan dengan kota itu.
“Belanda tidak berdagang di daerah ini. Mereka punya daerah pertokoan sendiri agak ke sebelah Timur stasiun. Yang mereka jual di sana macam-macam. Pakaian dan makanan Eropa, mesin jahit, alat potret, radio, sampai mobil buatan Eropa dan Amerika,” lanjut Yung.
Di waktu senggangnya, Yung mengajakku berkeliling dengan kereta kuda, yang kemudian kudengar disebut delman, ke daerah-daerah Mantuong yang jauh dari penginapan kami.
“Ketoplak ketoplak ... Huss! Ningneng … Ketoplak ketoplak tingneng …,” suara sepatu kuda bercampur dengan suara si kusir dan lonceng delman terdengar berirama sepanjang perjalanan kami. Bau tahi kuda menguar dari jalanan di bawah kami. Si kuda tak punya pilihan selain berak sambil berlari. Dia tak bisa permisi pada kusir untuk berhenti dan membuang tahi dengan tenang.
Yung membawaku makan makanan dingin lembut dan manis yang amat kusukai, yang baru kutahu namanya es krim, di sebuah restoran Belanda yang namanya terlalu sulit untuk kuingat di Bragaweg, jalan kebanggaan orang Belanda Mantuong.
Kukagumi keindahan kota itu, yang dalam pandanganku jauh lebih tertata rapi dibandingkan dengan kampung halamanku di Fuqing. Begitu banyak taman dengan banyak pohon besar. Taman-taman umum dan pekarangan rumah-rumah orang Belanda semuanya ditanami rumput hijau dan bunga-bunga aneka warna. Bukan bohong jika kota itu dijuluki Kota Kembang saat itu. Betapa inginnya aku tinggal di salah satu rumah seperti itu.
Yang paling mengagumkanku dari semuanya adalah sebuah gedung berbentuk aneh yang amat besar dengan banyak jendela yang juga besar dengan halaman luas berumput di banyak sisinya. Di puncak atap gedung utama di tengah, ada hiasan berbentuk seperti makanan dari daging yang dibakar dan ditusuk menjadi satu, yang baru pernah kurasakan hari sebelumnya di dekat stasiun.
Dalam hatiku, aku berpikir. Apakah kota cantik yang begitu penuh dengan keindahan ini akan sanggup berubah menjadi kota tempat bencana menimpa hidupku dan orang-orang yang kukasihi, seperti ramalan gelap yang menghantuiku sejak masa kanakku, yang tak pernah ingin kudengar dan kupercaya.
Para huangiang memakai pakaiannya sendiri, yang amat berbeda dengan orang putih dan tonneng. Pakaian bagian atas perempuan mereka, belakangan kuketahui disebut kebaya, amat berwarna-warni dan membalut ketat lekuk tubuh mereka yang kebanyakan kecil, padat dan ramping. Bagian bawah tubuh mereka ditutupi kain yang juga beragam warnanya. Huangiang laki-laki memakai pakaian yang lebih bersahaja. Banyak yang hanya bertelanjang dada. Banyak dari mereka yang bau ketiaknya mengalahkan bau Yung, pikirku tertawa sambil menutup hidungku.