Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #11

Rumah Pasirkalikiweg

 “Ieu malem Jema’ah, Hindun. Maneh ulah nyisir! Engke didatangan ku Nyi Kunti siah1!”

Eta si Cholil meni heheotan geus Maghrib teh! Rek manggilan jurig2?”

Begitu sekilas percakapan para kuliwo yang kudengar pada suatu Kamis malam atau malam Jum’at menurut sebutan mereka. Tidak berbeda dengan di Cungkuo, kepercayaan akan mahluk-mahluk yang tak nampak, sangat kuat di tanah Yìnní.

“Juragan, hati-hati! Jangan dekat pohon besar itu malam-malam. Takutnya ada yang mengganggu,” kata seorang kuliwo.

Mereka tentu tidak perlu tahu, tanpa diperingatkan mereka pun aku sudah berpapasan dengan mahluk-mahluk seperti itu sejak menginjak Yìnní, hanya saja aku baru tahu nama-nama mereka belakangan dari orang-orang yang kutemui, yang sebetulnya tak pernah melihat sendiri mahluk-mahluk itu. Mereka hanya mendengar cerita-cerita pamali dari orang-orang tua, yang entah sudah ditambahi cerita apa saja. Waktu yang dipercaya mereka paling berbahaya adalah waktu Maghrib, sekitar pukul enam petang.

Mahluk-mahluk itu berbeda dengan yang kulihat di Cungkuo, namun bau mereka mirip, tidak jauh-jauh dari bau bangkai, asap, darah dan bunga. Ada yang serupa manusia perempuan dan lelaki, ada yang tidak berupa manusia. Belakangan, banyak yang nampak dalam rupa dan pakaian orang Belanda, kebanyakan perempuan.

“Hati-hati, Juragan. Di rumah kuno seperti ini, apalagi yang ada pohon besarnya, biasanya memang ada macem-macem,” kata Hindun.

“Ada yang seperti perempuan muda. Dia mati waktu beranak, jadi dia suka nyari anak orang buat gantiin anaknya. Mesti sedia gunting sama pisau di dekat tempat tidur orok, Juragan. Dia takut sama yang tajem-tajem,” Neneng menyahut.

“Ada yang seperti nenek-nenek. Mukanya jelek dan teteknya kendor panjang sampai ke perutnya. Dia juga sukanya nyulik anak kecil, Juragan. Anak-anak mesti dijaga bener. Anak yang diculik bisa balik bisa engga. Kalau engga balik, ketemunya udah mati. Kalau balik, jadinya kayak orang linglung sama gagu,” sahut yang lain.

Mahluk-mahluk itu semuanya pernah kulihat. Mereka memang berusaha mendekati anak-anakku yang kemudian lahir di rumah itu. Tiga anak lelaki: Kie, Han dan Siauw, selain anak tiriku, Siong dan dua anak perempuan: Tju dan Lan. Mahluk-mahluk itu langsung pergi karena tahu ada yang melindungiku. Aku tak perlu mempersenjatai diriku dan menakuti mereka dengan senjata apa pun. Namun demikian, sepanjang hidupku mereka tidak henti-hentinya berusaha mencelakaiku dan keluargaku.

Di antara semua roh yang berpapasan denganku, ada satu yang kurasakan paling membawa aura jahat yang paling dahsyat dan gelap. Sesuatu yang pasti bukan berasal dari dunia ini. Orang menyebutnya Nji Tjempaka, karena dia memang tinggal di dalam pohon cempaka besar di pekarangan rumahku.

Dia jarang menampakkan diri pada orang. Namun suatu petang dia menampakkan dirinya kepadaku. Diawali dengan harum bunga cempaka yang amat kuat menguar, sesosok perempuan tiba-tiba muncul saat aku akan menutup jendela pada suatu Maghrib. Dia membelakangiku, menghadap ke arah pohon besar itu. Harus kuakui perawakannya amat elok dengan lekuk tubuh yang sempurna dalam balutan kebaya merah dan kain batiknya. Laki-laki mana pun pasti akan terpesona melihat leher jenjang, pinggang ramping dan pantat membulat seperti itu.

Tiba-tiba dia mengejutkanku dengan memutar kepalanya seperti burung hantu, menghadap kepadaku sementara tubuhnya tetap membelakangiku. Dia menyeringai dengan mata membelalak liar dan bibir yang merah seperti cabai yang ranum. Wajahnya cantik dengan aura yang terlihat amat jahat. Jantungku hampir lepas menggelinding melihat pemandangan itu. Namun keterkejutanku hanya sesaat. Setelah itu kami saling menatap lekat.

“Kau bukan perempuan sembarangan. Ada yang melindungimu. Tapi kau belum tahu siapa aku” ujarnya, menyadari aku tak takut menatapnya. Orang-orang lain pasti sudah akan kesurupan dirasukinya dengan tatapan dan seringainya yang begitu kuat, gaib dan gelap.

Orang-orang yang kutanyai tentang mahluk perempuan penghuni pohon cempaka itu tak pernah tahu asal usulnya. Mereka tak pernah melihatnya langsung sepertiku, hanya bisa mengatakan cerita yang mereka dengar, bahwa dulu sekali, ratusan tahun lalu, ada seorang perempuan penganut ilmu hitam yang bersekutu dengan iblis agar bisa memikat seorang lelaki kaya. Si lelaki terpikat dan menjadikannya gundik simpanan. Lalu perempuan itu mengguna-guna istri si lelaki menjadi gila. Saat si perempuan mati dengan penderitaan berhari-hari, seperti umumnya penganut ilmu hitam, dia harus membayar pada iblis dengan selamanya menjadi pengikut iblis dan dituntut mencelakai banyak orang. Amat mirip dengan cerita nugui di rumah kakekku.

Lihat selengkapnya