Sudah lama sekali, tidak lagi terdengar suara-suara orang berpesta di rumah keluarga tetangga kami, keluarga Meijer. Suara piano yang memainkan lagu-lagu ibadah mereka pun sudah tak terdengar. Daun-daun kering dan kuntum-kuntum kamboja yang layu berguguran tidak disapu rapi seperti dulu. Penghuni rumah pun tidak pernah terlihat keluar dengan mobil mereka pada hari Minggu pagi untuk ke gereja, saat mereka selalu melambaikan tangan dan tersenyum pada kami.
Mevrouw1 Meijer dan kedua putri remaja mereka beberapa kali bertamu ke rumah kami. Aku hanya bisa menyahuti mereka dengan bahasa Melayu yang tergagap-gagap, berbeda dengan Melayu mereka yang amat lancar. Irma dan Anja berusia enam belas dan lima belas. Aku masih mengingat kedua anak manis dengan wajah berbintik-bintik coklat itu, saat setiap pagi berpamitan kepada ibu mereka dengan seragam sekolah dan rambut coklat yang dikepang dua. Mereka selalu menyapaku dengan panggilan sopan “Nyonya Ong” dan memperlakukan anak-anakku seperti adik-adik mereka. Keluarga mereka pun terlihat baik terhadap para pembantu dan sopir di rumah mereka.
“Nyonya Ong, ini ada chocolade2 untuk adik-adik,” kata Anja dengan manis, saat mereka mampir ke rumah kami saat kembali dari negeri mereka.
“Senang ya di Belanda, Mevrouw?” tanyaku berbasa basi.
“Wah, kami semua lahir di sini, tentu lebih suka di sini. Belanda terlalu dingin, baik udaranya maupun orang-orangnya,” kata Mevrouw Meijer tertawa.
Keluarga Meijer tak pernah terlihat lagi. Begitu pun dengan keponakan mereka Hendrik, yang selalu menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan otot lengannya yang dirajah bergambar perempuan setengah telanjang, yang selalu memandang sinis pada kami sambil menghembuskan asap rokoknya. Kata seseorang, dia bersikap begitu karena kami keluarga bukan Belanda pertama yang tinggal di lingkungan mereka, dan dia tidak begitu suka dengan orang bukan Belanda. Sikapnya kemudian berubah menjadi lebih baik dan bersahabat.
Orang-orang Belanda lainnya di seluruh Mantuong pun sudah tidak terlihat di jalan-jalan. Begitu pun bendera tiga warna: merah, putih, dan biru mereka. Di setiap tiang bendera hanya ada bendera putih dengan bulatan besar berwarna merah di tengahnya. “Seperti telur mata sapi,” kata seorang anakku.
Kehadiran bendera-bendera telur mata sapi itu diikuti dengan berkumandangnya Kimi Ga Yo di radio, sudah pasti segera diikuti dengan kedatangan sang empunya bendera dan lagu kebangsaan. Aku gemetar! Semua yang begitu kutakutkan dan menjadi alasan kepergianku meninggalkan Cungkuo akhirnya menjadi kenyataan. Nippon sudah hadir di bumi Yìnní! Aku gemetar. Hanya tinggal soal waktu para tentara mereka akan datang pada kami. Dan sudah jelas mereka benci pada tonneng.
“Apa yang akan terjadi pada kita, Yung?” tanyaku suatu hari.
“Jangan takut, Leng. Kita akan baik-baik saja. Di Cungkuo, kita musuh utama mereka. Di sini bukan,” jawab Yung. Suaranya sama sekali tidak terdengar yakin.
Tidak butuh waktu lama, tentara Jepang segera datang ke rumah kami.
“Maneh nyumput di dieu. Cicing! Ulah ngomong nanaon3!” perintahku pada para kuliwo yang amat ketakutan sejak mendengar pintu depan digedor tentara Jepang.
Aku tahu mereka, para perempuan muda itu tak akan selamat jika para Jepang bajingan itu melihat mereka. Sudah terdengar di mana-mana, Jepang akan merampas perempuan-perempuan muda untuk dijadikan pelacur gratis bagi tentara mereka. Aku pun bersyukur, aku dalam keadaan hamil tua dan tidak akan jadi sasaran mata mereka yang liar seperti babi jantan sedang berahi. Kudampingi anak-anakku tanpa para kuliwo. Dari lubang di lantai kayu tempatku bersembunyi, aku bisa mengintip dan menguping pembicaraan para tentara itu dengan Yung.
“Kon'nichiwa, Ongu-san. Kenpei-tai kyaputen no Satōdesu. Uripu no heishi, kenpeihodesu4” kata tentara Jepang yang masuk ke rumah kami. Dia bertubuh kurus, beraut wajah sombong, berkumis tipis dan mengenakan kacamata bulat, topi yang terlihat sedikit kekecilan, tanda jabatan berupa kain putih bertuliskan huruf kanji merah, sepatu hitam setinggi lutut yang disemir mengkilap, dan yang paling menakutkanku, dia menyandang sebilah pedang katana, pedang para samurai Jepang. Mereka tentu bisa dengan mudah memancung kepala siapa saja dengan pedang seperti itu.
Kempeiho Urip, yang menerjemahkan untuk Sato, terlihat juga membawa pedang seperti itu. Tingkah Urip membuatku jijik. Dia memandang membelalak pada Yung seperti ingin menelannya hidup-hidup, berbeda dengan Sato yang dingin dan santun. “Saya pernah bertugas di Nanking beberapa tahun yang lalu, Tuan Ong,” lanjut Sato. Dia sengaja menegaskan suaranya saat menyebut kata Nanking, sambil menyungging sekilas senyum tipis.
“Saya yakin Anda tahu apa yang terjadi di Nanking, negeri asal Anda, hampir lima tahun yang lalu, Tuan Ong?” lanjutnya dengan tatapan mengejek.
“Sayang sekali harus terjadi seperti itu. Seandainya saja teman-teman sebangsa Tuan mau sedikit saja bekerja sama dengan kami waktu itu,” lanjutnya.