Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #13

Merdeka!

 “Jepang sudah kalah! Kaisar mereka, Hirohito, baru saja berpidato di radio Jepang, mengumumkan menyerah. Minggu lalu dua kota mereka hancur dibom atom Amerika. Kota-kota itu hangus. Yang mati ratusan ribu. Tentu saja mereka takut! Sepuluh bom seperti itu lagi, rakyat mereka akan habis dan seluruh negeri mereka akan tenggelam ke laut!”

Itulah yang kudengar pada suatu hari, saat beberapa lelaki kerabat dan teman Yung datang berkunjung. Mereka terlihat tegang. Napas mereka memburu.

“Itulah karma bangsa setan! Itu bukan apa-apa dibandingkan perbuatan mereka di Nanking!”

“Siap-siap! Habis ini tentara Yìnní akan jadi liar dan merampok ke rumah-rumah. Mereka banyak kelompoknya, bergerak sendiri-sendiri dan tidak nurut pada satu pemimpin. Sembunyikan semua harta berharga dan jangan ke mana-mana!”

Berita itu diikuti berita simpang siur yang menyatakan Yìnní sudah mengumumkan kemerdekaan di radio. Namun perang sama sekali belum berakhir. Hari-hari itu memang tidak menentu. Setelah itu tentara Belanda sempat datang lagi ke Mantuong dan peperangan terjadi di mana-mana selama beberapa tahun. Mantuong menjadi amat mencekam. Yung memilih mencopot tanda yang dipasang tentara Jepang di dinding kami, karena tidak jelas siapa yang berkuasa hari-hari itu.

“Keadaan semakin tidak aman. Tentara Yìnní membakar gedung-gedung penting. Mantuong menjadi seperti lautan api!kata seseorang.

Setelah hari-hari tidak menentu itu, akhirnya peperangan berakhir. Bendera tiga warna dan bendera telur mata sapi tidak ada lagi. Bendera merah putih berkibar di mana-mana. Radio bebas menyiarkan lagu kebangsaan Yìnní yang sebelumnya dilarang. Koran-koran memuat potret seorang lelaki berbaju putih berpeci hitam yang terlihat amat tampan yang menjadi pemimpin pertama Yìnní.

Meski tak benar-benar mengerti kalimat-kalimat panjang sulit yang diucapkannya dalam bahasa Yìnní bercampur bahasa-bahasa asing di radio, aku tahu dia seorang pembicara yang amat pandai. Suaranya menggelegar dan bicaranya amat lancar selama berjam-jam. Dia memukau rakyatnya dengan kemampuannya itu. Kudengar, dia pun pandai memukau para perempuan.

“Dia ceraikan istrinya yang jauh lebih tua, orang Mantuong sini, lalu kawin dengan perempuan yang pantas jadi anaknya,” begitu kudengar seorang perempuan suatu hari.

Di kemudian hari kudengar dia pun beberapa kali mengambil istri lagi. Salah satunya, seorang perempuan muda Jepang yang sungguh amat cantik.

Beberapa tahun setelah Jepang pergi, Mevrouw Meijer, Irma dan Hendrik datang dari Negeri Belanda untuk menengok kuburan Meneer1 Meijer yang mati saat ditahan Jepang, di pekuburan Jalan Pandu. Dia sempat mampir mengunjungi kami saat menengok dari luar pagar bekas rumahnya yang saat itu sudah ditempati keluarga pejabat tentara Yìnní.

Mereka bukan lagi orang-orang yang sama. Badan mereka, termasuk Hendrik yang dulu begitu kekar, terlihat kurus dan lesu. Pipi dan mata mereka cekung. Hendrik ditangkap Jepang dan bertahan hidup dalam kerja paksa bertahun-tahun tanpa cukup makanan. Masih ada keramahan dan kesopanan mereka, tapi sudah tidak ada lagi senyum mereka yang dulu.

Lihat selengkapnya