Suatu hari Jum’at, kudengar bagian lain Mantuong dilanda kerusuhan besar. Kerusuhan itu kabarnya berawal dari bentrok anak sekolah tinggi yang dekat dierentuin1, yang dulu juga menjadi tempat sekolah Pemimpin Banyak Istri.
“Rusuh! Mereka membakari dan merampok rumah-rumah yang dicurigai rumah tonneng!” kata seorang pegawai toko yang panik mendengar berita itu.
“Ada apa sih? Kenapa mereka begitu gampang ngamuk sama tonneng?” tanya seorang lain.
“Apa yang aneh? Itu kan biasa aja, anak muda kan biasa berkelahi sebetulnya. Selesaikan saja dengan adu tinju kalau memang tidak bisa didamaikan. Kalau sudah ada yang kalah ya anggap selesai,” kata seorang ikut bicara.
“Tidak begitu kenyataannya. Urusannya bukan lagi anak muda berantem kalau tonneng berkelahi dengan huangiang..”
“Sebaiknya kita tonneng ngalah aja. Kita kan sedikit. Kalau sudah begini, semua kena, bukan cuma anak yang berantem.”
“Ngalah mah bukannya udah dari dulu?” tanya yang lain.
“Kejadiannya di Dago. Rusuhnya sampai ke Sukabumi.”
“Rumah, toko dijarah. Tonneng yang gak tau apa-apa ikut digebukin cuma karena sipit. Katanya ada yang mati. Ada yang diperkosa, majikan sekaligus kuliwo-nya. Bahkan kelenteng juga dilempari batu. Moga-moga gak bener beritanya.”
“Untung di Pasar Baru sini mah aman ya, dekat stasiun sama Gubernuran sih.”
“Tauke bukannya di rumah, Juragan? Siapa yang jaga?”