Di suatu hari yang amat gelap di hari pertama bulan ke-sepuluh di suatu tahun Ular yang kemudian juga menjadi tahun yang amat gelap, radio memberitakan penemuan mayat tujuh jenderal di sebuah tempat di Pa-liang yang bernama Lubang Buaya. Yinni-Kungchantang disebut-sebut sebagai pelaku pembunuhan itu, dan karenanya semua anggotanya harus diburu sampai ke mana pun.
Yìnní bergolak amat panas seperti kuali penggorengan raksasa dalam bulan-bulan sesudah pembunuhan jenderal-jenderal itu. Demonstrasi jalanan terjadi di mana-mana. Kami sedih mendengar Pemimpin Banyak Istri diberhentikan sebagai pemimpin dan dikurung di istananya di Bogor dan hidup bertahun-tahun dalam sepi sampai waktu meninggalnya. Namanya yang dulu dipuja-puja, setelah peristiwa berdarah itu seperti dianggap tabu dan hanya disebut orang dengan bisik-bisik.
“Dia sudah habis. Masih presiden tapi sudah gak bisa apa-apa,” begitu yang kudengar.
“Semua yang dekat sama dia dihabisi, disapu bersih,” seorang yang lain menyahut.
“Padahal dia yang memerdekakan negeri ini,” terdengar suara lain.
“Bagaimana nasib tonneng sesudah dia turun?”
“Siap-siap saja. Pasti bakalan ada perubahan gede-gedean.”
Seorang jenderal yang amat suka tersenyum menggantikannya sebagai pemimpin Yìnní. Tidak ada yang bisa menyangka, di balik senyum memikatnya, jenderal itu tega memerintahkan atau membiarkan begitu banyak kekejaman yang dilakukan para tentara maupun bukan tentara terhadap rakyat Yìnní sendiri, termasuk para tonneng tentunya.
“Tetanggaku ada yang dikeluarin dari penjara, terus disuruh tentara jadi algojo. Dia sama orang-orang kampung yang lain sama tentara dikasih nama-nama orang yang harus dibunuh, terus dikasih senjata. Setiap malam mereka rame-rame bawa obor cari orang-orang yang katanya PKI.”
“Sama, di kampungku juga. Orang-orang yang ketangkep dibawa ke hutan. Di sana udah ada lobang yang digali buat ngubur orang-orang yang mau dimatiin. Leher mereka ditebas terus langsung dikubur. Ada yang belom mati udah dikubur. Yang dimatiin itu ada yang tetangga sekampung atau saudara orang yang matiin sendiri. Ada juga yang gak dikubur tapi mayit-nya dilempar di depan rumahnya, supaya dilihatin semua orang. Hii … merinding aku ...!”
“Iiih … iya … ngeri sekali! Sampai sekarang kalau malam selalu ada suara orang jerit-jerit minta tolong dari kuburan-kuburan dadakan di hutan pinggir kampungku. Orang-orang kampung gak ada yang berani lewat situ, apalagi waktu maghrib. Tetangga-tetangga yang ikut bunuh pada kesurupan terus jadi kayak orang gila.”
“Padahal orang-orang yang dibunuh mah cuman ngertinya tani. Mereka mah orang bodo yang gak pernah sekolah, kayak aku. Boro-boro ngerti urusan PKI atau apalah ...”
Begitulah kudengar cerita-cerita para kuliwo. Dalam beberapa bulan sejak pembunuhan jenderal-jenderal itu, seluruh Yìnní menjadi tempat yang terlalu mengerikan. Setiap hari, terutama di kampung-kampung, selalu ada cerita penemuan mayat dan kepala orang orang-orang yang dicurigai PKI. Sungai-sungai juga dipenuhi mayat-mayat yang dibuang begitu saja. Orang-orang yang dicurigai, dibenci atau didendami secara pribadi bisa saja dibunuh tanpa pengadilan.
“Yang mati ratusan ribu. Ada yang bilang sejuta. Ada yang langsung mati, ada yang mati perlahan-lahan, disiksa, kelaparan atau bunuh diri di penjara.”
“Ada yang kelaparan sampai makan kecoak di kakus dan belatung yang keluar dari boroknya sendiri.” Begitu bisik-bisik yang kudengar saat para tamu berkumpul di rumah kami. Hanya bisik-bisik. Tidak ada yang berani bersuara keras hari-hari itu.
Aku tak tahu apakah semua yang dibicarakan itu benar. Namun meski pun hanya separuh yang benar, hatiku hancur lebur mendengar cerita-cerita seperti itu bisa terjadi di bumi Yìnní yang begini indah, dan dilakukan oleh orang-orangnya yang selama ini kukenal begitu ramah, saling tolong menolong di atara sesama dan penuh senyum.