Warna pakaian dan isi hati adalah dua benda yang sangat berbeda. Kupandangi potret malam tahun baru di atas bufet. Hampir semua orang di dalamnya tersenyum. Para perempuan, anak-anak, menantu dan cucuku kebanyakan memakai pakaian tahun baru berwarna merah, warna kebahagiaan. Aku tahu beberapa dari mereka mungkin berbahagia. Sebagian lainnya mungkin tidak. Aku tidak berbahagia malam itu. Dan banyak malam sebelumnya. Dan banyak malam sesudahnya. Kebahagiaan dan ketidakbahagiaanku akan kucoba ceritakan. Tidak semua anakku akan kuceritakan dengan rinci.
Potret itu hampir tak pernah lengkap. Ini tahun ke-tiga belas Siauw tidak ada di potret itu. Dan, Giok masih ada di potret itu, memandang namun tanpa jiwa. Keduanya anak-anakku, namun aku punya harapan berbeda untuk keduanya. Sebelum aku mati, aku berharap melihat Siauw hidup. Dan sebelum aku mati, aku berharap melihat Giok mati. Tahun depan, aku harap ada Siauw di potret malam tahun baru, jika dia memang masih hidup. Aku berharap itu pun jadi foto terakhir Giok. Dan foto terakhirku. Kuharap dia mati sebelum aku mati.
Kuingat hari saat Giok pergi dengan beechia ke tempatnya mengajar sebagai guru taman kanak-kanak. Dia pergi sebagai gadis dua puluh tahun yang ramping cekatan yang selalu pintar di sekolah. Kulitnya kuning langsat seperti perempuan Sunda, tidak seperti kami para tonneng yang berkulit kuning pucat. Tak sepertiku, dia cantik dan selalu tersenyum dengan bibir dan matanya. Saat dia tersenyum, dunia ikut tersenyum melihat bibir merahnya yang lebar dan mata sipitnya yang menghilang di balik senyumnya.
Dia kembali ke Mantuong beberapa tahun kemudian sebagai perempuan yang hancur tubuh dan jiwanya. Aku bukan perempuan yang lahir kemarin sore. Sekali lihat, aku tahu ada yang berubah dengan tubuhnya. Ada yang hidup di dalamnya. Entah siapa yang melakukannya. Sebagai perempuan yang dikurung dalam tahanan yang seluruh penjaganya laki-laki, segala hal buruk bisa terjadi padanya. Dan segala hal yang buruk memang terjadi padanya.
Dia hamil saat di dalam tempat terkutuk itu, lalu melahirkan di luar. Tapi itu bukanlah bagian terburuknya. Tak lama setelah melahirkan anaknya, Giok segera kehilangan semua kewarasannya. Gadis kuning langsat yang selalu gembira itu menjelma menjadi perempuan tambun yang tidak becus mengurus berak, cebok dan haidnya sendiri. Tatapan matanya kadang saja menyiratkan apa yang dirasakannya. Sesekali ada api di mata itu, diikuti teriakannya yang menggetarkan seluruh rumah. Sesekali ada cahaya riang yang diikuti tawanya yang aneh, untuk sesaat setelahnya datang banjir di mata yang sama, yang diikuti banjir di mataku. Namun jauh lebih sering, tidak ada apa-apa di mata itu. Hanya ada kehampaan, yang diikuti kehampaan di jiwaku.
“Ngua tiempha1,” begitu gumamnya perlahan setiap hari sambil berjalan menunduk hilir mudik di dalam rumah sambil merokok. Sejak dia kembali, dia memang kecanduan merokok. Entah siapa yang membuatnya seperti itu.
Malam hari berada di samping Giok adalah saat yang selalu menakutkanku. Setiap malam harus kuhadapi berbagai badai perubahan pada diri perempuan yang tidur seranjang denganku itu.