Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #17

Para Kuliwo

 “Keur ngagoreng naon maneh, Neneng1?” tanyaku suatu siang. “Ah, manehna mah ngagoreng patut, Juragan 2,” goda teman-temannya tertawa.

Beleguk, maneh3!” sahut Neneng tertawa menanggapi canda temannya.

Juragan, mana ceuk radio teh Rinso bisa mencuci sendiri? Ah, sarua keneh kudu dikumbah ku tanaga leungeun ieu mah4,” Asih mengeluh sambil menertawakan iklan sabun cuci di radio.

Aku gembira, bahasa Sundaku sudah cukup dimengerti oleh orang-orang yang bekerja di rumahku. Sudah cukup untuk bisa saling mengerti dan saling menertawakan adalah bentuk kedekatan kami.

Aku melihat sebagian diriku dalam diri orang-orang itu, para perempuan dan sedikit laki-laki pekerja di rumahku. Sama sepertiku, mereka datang ke Mantuong, meninggalkan anak, pasangan atau orang tua dan tempat asal mereka demi suatu hidup yang lebih baik. Mereka datang untuk setetes rezeki seperti aku datang untuk menghindari Jepang.

Sama sepertiku dulu, mereka umumnya perempuan-perempuan petani lugu. Bedanya denganku, mereka anak-anak buruh tani yang tak punya tanah atau sawah sendiri. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang baik. Hanya satu dua yang wataknya kurang baik, seperti Irom yang sering berbohong menyebut harga saat disuruh berbelanja dan baru ketahuan saat dia sakit dan Neneng menggantikannya berbelanja, juga Onoh yang pernah mencuri uang temannya sesama kuliwo.

Aku mengingat beberapa dari para kuliwo yang pernah bekerja dan menghuni rumahku, bahkan kuanggap sudah menjadi bagian dari hidupku.

Saat masih sangat kecil, cucuku Ken tiba-tiba menjadi dilanda sakit parah dan harus segera ditambah darahnya. Saat rumah sakit mengabari hal itu, hari sudah menjelang petang dan hujan turun amat deras. Orang tua Ken, Han dan Pei pontang panting mencari darah golongan yang sesuai darah Ken. Han sendiri yang golongan darahnya sama dengan Ken tidak bisa diambil darahnya karena juga baru sembuh sakit berat.

Saat itu di tempat penampungan darah, persediaan darah golongan itu celakanya sedang kosong. Dengan panik, Han menelpon beberapa saudara dan teman-temannya. Tidak ada yang menolong, bahkan untuk sekadar datang dan memberi diri diuji golongan darah pun tidak. Hanya kata-kata penghiburan dan doa-doa, yang saat itu bagi kami terdengar seperti basa basi. Bukannya kami tak menghargai doa, tapi tentunya saat itu pertolongan nyata yang lebih kami harapkan.

Akhirnya, dengan terpaksa, kami memohon kepada beberapa para kuliwo apakah ada yang bersedia di-tes golongan darahnya, dan bersedia menyumbangkan darah untuk Ken.

Yang amat mengharukan kami, mereka semuanya mengajukan diri. Orang-orang lugu itu, yang amat takut jarum, semuanya mengajukan diri untuk menolong Neng Ken.

“Karunya Neng Ken,” isak mereka.”

Mereka justru lebih menunjukkan kepedulian daripada saudara-saudara dan yang katanya sahabat, yang kami hubungi sepanjang petang sampai malam itu.

Malam itu mereka, enam orang semuanya, berangkat dengan beberapa becak ke tempat penampungan darah Bandung di Jalan Aceh. Hujan masih juga turun dengan lebat. Semua di-tes darah dalam keadaan basah kuyup, kedinginan, tegang dan ketakutan. Hanya satu yang cocok golongan darahnya, yaitu Siti. Setelah melalui tes kesehatan, Siti dinyatakan layak menjadi donor untuk adik saya. Dia pucat ketika melihat jarum pengambil darahnya, tapi bersikap tegar karena ingin menolong. Hari itu Siti menyelamatkan nyawa cucuku. Aku, Han, Pei berutang budi kepada Siti. Dan Ken berutang darah dan nyawa terhadapnya.

Inah datang diantar saudaranya padaku.

“Anak saya empat, Juragan. Laki saya pergi, tinggalin saya sama anak-anak. Dulu suka mukulin saya dan gak pernah kasih nafkah. Terakhir dia pulang, dia bilang, ‘Aing balik moal, ngiriman moal5!’ terus dia pergi. gak pernah pulang lagi. Tolong saya, Juragan. Saya mau kerja apa saja!” kata Inah, antara menangis menceritakan suaminya dan menangis karena sangat berharap bisa bekerja dan mendapatat penghasilan untuk hidup anak-anaknya. Sekali lagi aku tidak tega untuk menolaknya. Dia terbukti menjadi pekerja yang paling cekatan dan rajin di rumahku.

Tjitjih datang dalam rupa yang tak karuan. Tubuhnya kurus karena kurang makan dan cacingan. Kulit di kedua kakinya dipenuhi koreng yang bernanah, berbau dan dihinggapi lalat. Dia dibawa tetangganya, Romlah.

Lihat selengkapnya