Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #18

Tjitjih

 “Bukan, Juragan. Anak … anak … Tau .. Tauke, Juragan. Ampun, Juragan …”

Gelo siah Tjitjih! Leutik leutik geus jadi bondon siah Tjitjih. Ku aing dipaehan siah!1 teriakku kesetanan.

Aku tak tahu apa yang merasukiku hari itu. Kujambak rambut panjang Tjitjih dan kutampari wajah cantiknya berulang-ulang.

“Ampun, Juragan … ampuuun ..!”

Tjitjih terus menjerit-jerit minta ampun. Jika tidak dicegah para kuliwo lain, bukan tak mungkin hari itu aku menjadi pembunuh seseorang.

Kudorong tubuh Tjitjih tersungkur, lalu aku meludah di lantai.

“Pergi dari hadapanku sebelum kau kubunuh!” kataku kepadanya sambil berlalu.

Aku bergegas menemui Yung. Kepadanya aku kembali berteriak-teriak,

“Kau lakukan ini karena sudah tak puas bersamaku? Karena punyaku sudah kering. longgar dan berbau keringat babi?” kataku mengulang kata-kata ayahku kepada ibuku dulu sekali.

“Usiamu hampir enam puluh, dan dia baru enam belas, mengerti?! Dengan uangmu kau bisa membayar pelacur stasiun mana pun. Kenapa harus anak itu? Di rumahku sendiri? Di mana otakmu, lelaki tua goblok?”

Yung hanya terdiam menunduk menghadapi badai amarahku. Aku ingin mengutuki kemaluannya seperti dulu ibuku mengutuk ayahku, namun sesuatu dalam diriku menghalangiku. Aku tahu pasti, apa yang kukutuk bisa saja menjadi kenyataan. Bagaimana pun, Yung belumlah sejahat ayahku dan aku belumlah sepahit ibuku terhadap suaminya.

Itulah titik terendah dalam kehidupanku bersama Yung. Sejak hari itu aku tak pernah mau lagi tidur sekamar dengannya. Aku pindah ke kamar kosong di pojok rumah. Kulihat di sudut kamar, Tjempaka terus menertawakanku. Tatapanku yang penuh kemarahan hanya membuatnya semakin kencang tertawa.

Beberapa waktu setelah itu, Ibu Tjitjih datang suatu hari yang mendung. Dia meninggalkan bayi Tjitjih yang berusia tiga bulan kepada para kuliwo. Dia bahkan tidak berani menemuiku. Tjitjih, ibu anak itu sendiri, entah di mana.

Para kuliwo dengan takut mewartakan hal itu kepadaku. Kutengok di kamar kuliwo seorang bayi terbaring. Dia tak cukup terbungkus pakaian hangat dalam udara Mantuong di musim hujan seperti itu, menunjukkan jelas warna kulitnya yang kekuningan.

Aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap bayi kuning langsat namun bermata sipit di hadapanku ini. Haruskah kubunuh saja dia? Atau kubuang saja supaya mati dengan sendirinya? Ibunya saja tega membuangnya, pikirku. Ataukah kuberikan saja kepada Siti yang sudah tujuh tahun menikah namun belum dikaruniai anak?

Dalam kebingunganku, kulihat bayi kuning bermata sipit itu tersenyum. Mata-mata sipit itu begitu jernih dan berbinar, menatap langsung ke mataku. Mata-mata sipit dari jiwa yang tak berdosa. Hari itu aku membuat keputusan yang tak masuk akalku sendiri. Aku bahkan tak minta persetujuan Yung.

“Neneng, ini duit. Belikan pakaian hangat, popok dan selimut beberapa helai. Mulai hari ini, kau kuminta merawat anak itu,” perintahku kepada Neneng yang sudah berpengalaman beberapa kali beranak.

“Onah, kau sekampung dengan ibunya. Suruh dia datang setiap hari untuk menyusui bayinya, tapi jangan sampai dia terlihat olehku.”

Lihat selengkapnya