Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #19

Si Tjempaka

Pada hari aku mengusir Tjitjih, harum bunga cempaka tiba-tiba memenuhi udara sekelilingku. Nji Tjempaka muncul di hadapanku dengan segala keanggunannya yang seperti perempuan ningrat. Dia terlihat amat cantik dengan kebaya merah, sanggul dan riasnya. Buah dada, pinggul dan betisnya yang mengintip di bagian bawah kainnya memancarkan pesona ragawi yang pasti membuat mabuk kepayang setiap lelaki yang didekatinya. Kulit wajah dan tubuhnya kuning langsat dan memancarkan cahaya dari dunia gaib. Mata indahnya nyalang menyiratkan gairah liar menggoda dan menatap tak berkedip. Bibirnya merah cabai, ranum sempurna, mengundang untuk dikulum dan dilumat. Saat pantat bulat sempurna itu bergoyang mengikuti langkahnya, semua lelaki pasti menahan napasnya.

Hi-hi-hi, kau siksa dan kau usir bocah malang itu! Akulah yang merayu suamimu, Leng. Dalam keberadaanku, aku masih amat butuh kejantanan lelaki. Aku hanya bisa melakukannya dengan tubuh mahluk seperti kalian. Si Tjitjih itu, aku tahu, amat kau sayangi. Karenanya dia sengaja kupilih untuk kurasuki dan kupakai tubuhnya untuk kesenanganku. Suamimu tak tahan ketika aku, dalam tubuh semlohai bocah itu, masuk dan menelanjangi diri di kamarnya saat kau tak ada …,“ katanya tersenyum mengejek.

“Suamimu itu. oh Leng, alangkah perkasanya! Dia jauh lebih hebat daripada si Belanda Van Hannegem itu, yang langsung mati kugenjot dengan tubuh pembantunya di ranjangnya sendiri hi-hi-hi. Suamimu seperti kuda jantan tua yang amat bertenaga! Di usianya, kelelakiannya masih amat kencang seperti mentimun hi-hi-hi. Bau yang menguar dari ketiaknya hanya menambah dahsyatnya berahiku! Dia membuatku puas berkali-kali. Betapa tangguhnya dia membanjiri dan membuntingi si bocah perawan ranum Tjitjih itu!

Kau sungguh seorang istri yang beruntung, Leng ..! Hanya saja kau sia-siakan dia, dan kau tak tahu cara memuaskan hasrat liarnya! Kau benar-benar perempuan yang amat tolol, Leng! Hi-hi-hi-hi-hi …” ejeknya dengan suara mengikik menjijikkan.

“Iblis betina cabul! Tempatmu bukan di dalam pohon keparat itu, tapi di dalam nyala api neraka! Tunggulah. Kau tak tahu apa yang bisa kuperbuat!” hardikku.

Dia mengikik menghilang meninggalkanku dalam kegeraman yang tak pernah menimpaku sebelum itu.

Lihat selengkapnya