“Apakah sudah tidak ada perempuan Huchianeng yang cukup cantik, cerdas dan baik hati, sehingga kau harus kawin dengan seorang perempuan Kheneng? Tanya Yung, amat gusar saat Han menyatakan niatnya menikahi teman sekolahnya, Pei, anak perempuan keluarga Ban, dari suku Hakka.
“Satu-satunya yang baik dari mereka adalah makanannya.” Orangnya brengsek semua. Sombong mentang-mentang orang sekolahan. Padahal tukang tipu semua. Apalagi perempuannya, banyak yang gak bener.” Lanjut Yung.
“Mereka memang mesti nipu karena di Cungkuo mereka cuma tamu, gak punya tanah. Namanya saja khek, tamu,” kata Yung melanjutkan kuliahnya pada Han.
“Apa bedanya sama kita tonneng di Yìnní? Sama-sama jadi tamu, kan? Itu urusan ratusan tahun yang lalu di Cungkuo. Zaman sudah beda, Papa! Han membantah ayahnya.
“Kalau kau berkeras kawin dengan perempuan Kheneng itu, jangan lagi mengaku anakku!”
“Yung, jangan bicara seperti itu!” kataku keras.
“Han, pikirkan baik-baik. Pasti ada perempuan dari golongan kita sendiri yang lebih pantas untukmu,” kataku mencoba menengahi.
Dua lelaki ayah dan anak berwatak keras itu terus berbantahan dan bersitegang.. Pembicaraan yang semakin panas itu terjadi pada saat makan malam keluarga kami, dan hanya berakhir saat Han bangkit dari tempat duduknya, memegang tepi meja, lalu membalikkan meja makan, menumpahkan seluruh isi meja, mengotori lantai dan pakaian semua yang duduk di sana.
“Mo-nengkawang1!” Pergi kau dari rumah ini. Kawini perempuan Kheneng-mu dan jangan pernah kembali! Hardik Yung dengan segala kemurkaannya kepada anak kesayangannya itu. Han bergegas ke kamarnya, berkemas, lalu pergi dengan membawa tas pakaiannya tanpa berpamitan.
Harus kuakui Yung lelaki yang baik, tetapi dia bukanlah seorang ayah yang baik. Aku mengingat, belasan tahun sebelum kejadian di meja makan itu, Yung memaki dan memukuli Siong dengan tongkatnya, untuk kesalahan dalam caranya mengelola usaha sehingga menimbulkan kerugian.
“Di mana otakmu, Siong? Kau benar-benar anak yang tolol! Berani-beraninya kau pinjamkan uang toko kepada si Tjong, si penjudi licik itu! Kau percaya dia akan mengembalikan dengan bunga cap hun2 untuk sebulan? Sekarang dia kabur! Aku akan lekas mati punya anak sebodoh kau!” Yung memaki Siong dengan seluruh kekuatan paru-parunya.
Siong menunduk dalam ketakutan dan rasa bersalah, tak berani menjawab dan hanya bisa menangkis pukulan tongkat yang pasti amat sakit dirasa pada tulang lengannya. Dia berusia dua puluh tujuh, sudah menikah, dan Yung masih juga memaki dan memukulnya di depan orang lain. Itu hal yang amat buruk dalam pandanganku.
Belum cukup sampai di situ. Han, yang berusia lima tahun, muncul dari dalam kamar karena mendengar keributan ayahnya. Dia melihat abang tirinya dimaki dan dipukuli. Yung langsung berubah sikap ketika melihat Han. Dia tersenyum lebar kepada anak kesayangannya itu.