“Jangan biarkan sumpitmu berdiri menancap pada mie dan nasi seperti itu. Kau mau memberi makan hantu?” bentakku pada Ken saat mengajarkannya memakai sumpit pertama kali. Anak-anak dan cucu-cucuku yang lain sudah akan melonjak ketakutan mendengar kata hantu. Ken hanya tersenyum tenang.
Dia mengingatkanku akan diriku sendiri. Sejak kelahirannya di rumah sakit Borromeus, rumah sakit Belanda di Jalan Dago yang penuh dengan hantu, Ken sudah tidak asing dengan mahluk-mahluk seperti itu. Saat malam hari, seorang perawat melakukan tugas malam berkeliling ke setiap kamar, lalu mengucapkan selamat malam kepada ibu Ken. Tidak berapa lama, perawat yang serupa masuk lagi, melakukan hal-hal yang persis sama.
“Kan tadi sudah, suster?”
“Oh, tadi beliau sudah ke sini ya, Bu?” sahut perawat yang datang belakangan itu.
“Beliau orang Belanda, dulu perawat di sini, tapi sudah meninggal waktu Jepang menyerbu rumah sakit, cari tentara Belanda. Memang selalu meniru perawat-perawat yang bertugas. Hari ini dia kebetulan meniru saya. Tidak mengganggu kok, Bu. Beliau hanya masih ingin melayani pasien.”
Ibu Ken tidak punya karunia sepertiku. Dia bisa melihat satu kali itu karena si perawat ingin dilihat. Tapi Ken berbeda. Aku tahu, sepertiku, Ken tidak asing dengan mahluk-mahluk seperti itu. Saat dia masih bayi dia sering melihat lama ke langit-langit. Kadang setelahnya dia akan menangis meraung-raung, kadang dia tertawa tergelak-gelak. Aku tahu apa yang dilihatnya.
Saat dia tertawa, dia sedang melihat pelindung yang memasang muka lucu padanya. Saat dia menjerit-jerit, dia sedang melihat mahluk jahat pencelaka.
“Amah, itu siapa? Aku sering melihatnya,” adalah satu pertanyaan pertamanya padaku.
“Siapa maksudmu, Ken?” pancingku.
“Perempuan itu. Kadang dia muncul cantik dan wangi bunga. Kadang sangat jelek dan baunya bikin muntah. Yang mana pun, semuanya menakutkan,” jawabnya.
Maka aku tahu jelas, Ken mewarisi karuniaku. Dia bisa melihat dan merasakan kehadiran Tjempaka. Untuk melukaiku, Tjempaka akan terus mengincar dan mencoba mencelakakannya, orang yang kusayangi. Aku tahu Tjempaka berulang kali menampakkan diri kepadanya, berusaha merasuki dan mencelakakannya sejak masa kanaknya, namun sepertiku, Ken pun dilindungi kekuatan maha dahsyat yang seringkali tak disadarinya.
Suatu hari saat Ken tertidur, dengan kekuatanku kututup mata batinnya. Kudoakan agar dia tak bisa lagi melihat roh-roh yang sebaiknya tak dilihatnya, terutama yang paling jahat dari semuanya, si Tjempaka.
Seperti banyak orang yang lahir shio kuda api, Ken pendiam, peka, dan mudah tersinggung meski tidak ingin menunjukkannya. Dia bukan penakut meski seringkali terlihat seperti itu dalam kediamannya. Dalam kesusahan, dia memilih menyimpan masalahnya sendiri dan hanya bercerita pada orang yang dipercayainya. Dia mudah dipengaruhi oleh orang lain, sangat bergantung pada orang yang dipercayainya, dan sering merasa tertekan begitu mereka kehilangan orang pada siapa dia bergantung. Orang itu adalah aku. Di tahun-tahun pertumbuhannya, orang tuanya berada jauh darinya. Akibatnya, aku yang menjadi andalan dan tempat curahan hatinya. Aku tahu, aku harus mendidiknya menjadi kuat dan menyiapkannya untuk kepergianku, cepat atau lambat.
Pada waktu Ken berusia enam tahun, dia kutempeleng saat ikut-ikutan anak tetangga mengatai Giok “Gelo!”. Itulah pertama dan terakhir kali aku melayangkan tanganku atasnya.
“Ngong-ngiang! Mo-nengkawang1!” Jangan sekali kali lagi kau katakan itu kepada Akuh-mu” Aku menghardiknya.
Sejak itu dia menjadi amat manis terhadap Giok, dan sebaliknya. Dia akan menghardik siapa pun yang berani mengejek Giok. Anak-anak lain, kuliwo, atau siapa pun.
“Saat kau lahir di rumah sakit tengah malam itu, langit gelap gulita dan turun hujan badai dahsyat yang tidak pernah kulihat sebelum dan sesudah hari itu. Di tengah badai semalaman yang begitu mengerikan, ada cahaya amat terang di langit sebelah Barat. Kulihat di atas atap rumah ini, mahluk yang seluruh tubuhnya dikelilingi api. Dia turun bersama petir. Badannya seperti kuda, tanduknya seperti rusa, wajahnya seperti singa. Seluruh tubuhnya dipenuhi sisik yang berkilap dalam cahaya api di tubuhnya.”
“Qilin, sang pelindung anak-anak, hadir saat lahirmu! Itu pertanda kau dilindungi semua kebaikan dari qilin dan dari pelindung-pelindung yang lain. Dia mahluk yang penuh welas asih yang bahkan selalu melayang karena tak mau menginjak dan mematikan rumput. Namun saat menghadapi kejahatan, dia bisa menyemburkan bola api yang membinasakan musuhnya. Kau mungkin tak melihatnya. Aku pun hanya melihatnya satu kali itu saja. Dia akan menghadirkan rui2 bagimu di saat-saat yang tak kau duga,” begitu aku selalu menceritakan apa yang kulihat di saat kelahirannya.