Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #23

Cokelat Kacang Mede

Kulihat foto malam tahun baru. Di sana tidak ada Han. Han sedang berada di tempat lain. Aku mengenang masa-masa itu.

“Eh, Nyonya Ong. Sudah lama tidak ke sini? Pak Han sehat saya jagain, udah gemukan. Sebentar saya panggilkan.”

“Iya, Pak Teten,” sahutku pada petugas jaga rumah tahanan. Seperti biasa, selembar uang lima ribu rupiah berpindah dari tanganku ke tangannya.

Sejak toko mas ayahnya, toko Ping Seng, bangkrut karena salah kelola dan ketidakcocokan anak-anakku karena perebutan warisan, Han mencoba banyak usaha yang tidak juga berhasil. Karena kedekatan ayahnya dengan para kerabat dan banyak orang kaya di kalangan Huchianeng, dia mudah mendapat pinjaman. Namun saat berbagai usahanya tidak berjalan baik, dia tidak dapat mengembalikan utang, dan pada suatu hari seseorang melaporkannya ke polisi.

Sejak itu, keluarga kami, terutama aku, menanggung malu di hadapan keluarga besar. Pertemuan-pertemuan keluarga selalu harus kudengar pertanyaan-pertanyaan dan gunjingan-gunjingan tentang Han.

“Bikin malu saja ada keluarga Ong yang masuk penjara.”

“Gaya hidupnya boros sih. Gak tau ayahnya setengah mati merintis toko dari nol.”

“Pintar ngomong tapi tidak pintar cari duit si Han itu.”

“Kasihan anak-anaknya. Ada berapa? Lima ya?”

“Rumahnya disita, mobilnya habis karena bangkrut. Masih belum cukup buat bayar utang. Sekarang ngontrak deh di Jalan Tampomas. Itu kan daerah huangiang? Apa gak rawan ya?

Saat polisi menjemputnya di suatu siang, seluruh keluarganya ada disana. Han terlihat menahan malu dan tangis saat dia melihat anak-anaknya melihat dia dituntun masuk ke mobil polisi.

Setelah itu, Pei harus pergi bekerja ke Pa-liang. Dia menyewa kamar sendiri, tidak tinggal bersama kerabatnya. Dia tak ingin merepotkan. Tapi alasan utama adalah dia tak ingin ditanyai dan mendengar semua omongan buruk tentang suaminya. Penghasilannya yang tidak banyak dikirimkannya kepadaku untuk membiayai anak-anaknya, termasuk membeli televisi darn radio sebagai ganti barang-barang lama yang diambil penagih utang, agar anak-anaknya punya sedikit hiburan.

Kiriman Pei tidak pernah cukup untuk biaya makan dan sekolah anak-anaknya. Setiap bulan aku harus pergi meminta kepada saudara-saudara Han, terutama Siong yang paling berhasil usahanya. Kutelan rasa malu yang kumiliki demi hidup anak-anak Han, aku dan Giok yang tinggal di rumah yang sama.

“Kok minta ke saya, Atjia? Bukannya saya cuma anak tiri? Bukannya dulu Papa paling sayang sama Han? Lihatlah di mana dia sekarang. Di penjara, dan tidak bisa memberi makan anak-anaknya!” adalah kata-kata Siong yang sama yang harus kutelan setiap bulan.

Di antara semua kuliwo, Dasmi yang paling pintar dan lancar berbahasa Yìnní karena pernah bersekolah selama beberapa tahun. Suatu hari, kudengar suara Dasmi bertengkar dengan seseorang di depan rumah. Suaranya terdengar keras, tidak seperti saat bicara pada kami.

“Tidak ada orang, hanya ada orang tua dan anak-anak. Bapak kalau tidak percaya, silakan lihat sendiri.”

Lihat selengkapnya