Kulihat potret malam tahun baru di atas bufet. Aku duduk di tengah sebagai orang yang paling dituakan. Aku gembira, akhirnya semua anakku ada di dalam bingkai yang sama. Giok, Siauw, dan Han, anak-anakku yang selama tahun-tahun tidak hadir di potret malam tahun baru, ada di potret itu. Kukenang kepulangan Siauw di suatu siang yang panas.
Aku tertegun melihat seorang di depan pintuku seorang lelaki kurus dengan banyak kerut di wajahnya. Namun, seorang ibu akan selalu mengenali anaknya bagaimana pun buruk perubahan yang terjadi padanya. Siauw muncul begitu saja tanpa kabar. Tidak ada orang lain saat itu, hanya kami berdua berpelukan dan bertangisan dalam diam. Tidak banyak kata-kata dan pertanyaan yang terucap.
Tiga belas tahun yang direnggutkan dari hidupnya sudah membuatnya amat berubah. Dia bukan lagi seorang yang percaya dengan menggebu bahwa tonneng dengan huangiang bisa bersatu padu membangun negeri ini, seperti saat dia menjadi guru di sekolah yang sudah langsung ditutup pemerintah Pemimpin Banyak Senyum.
“Makanlah dulu,” kataku.
Dia makan sisa daging babi kemarin yang dilahapnya sampai ke tetes kuah terakhir. Aku tak ingat kapan terakhir kali dia makan di hadapanku seperti itu.
“Di Buru tidak ada masakan seperti ini,” katanya singkat.
“Beristirahatlah di kamar Ken. Kau pasti lelah,” kataku setelah makanannya habis. Dia menurut, membawa tas kecilnya ke kamar Ken. Dia berbagi kamar dengan Ken untuk sementara waktu. Ken dengan keluguannya banyak berbicara dengannya. Kesepiannya sedikit terobati dengan kebersamaannya dengan Ken.
“Apa rencana Apek setelah ini?” tanya Ken dengan lugu. Sesuatu yang tidak berani kutanyakan.
Siauw tak menjawab. Dia menunjukkan kartu penduduknya yang sudah ditandai. Dengan kartu seperti itu sampai kapan pun dia tidak akan bisa mendapatkan surat keterangan tidak terlibat peristiwa pembunuhan para jenderal empat belas tahun sebelumnya. Semua tempat kerja mensyaratkan surat itu. Tidak ada yang mau menerima orang yang dinyatakan tersangkut peristiwa itu. Jika ketahuan menerima orang seperti itu, perusahaan itu akan segera ditutup dan pemimpinnya akan langsung dipenjara.
“Belum tahu, Ken. Jadi tonneng yang pernah dipenjara biasa saja sudah susah cari kerja, apalagi yang dipenjara di tempat Apek dan kartu penduduknya ditandai huruf E.T1. seperti ini.”
“Dulu Apek guru dan aktivis Baperki. Sekarang sekolahnya sudah tutup. Baperki-nya sudah bubar. Mau ngajar les huayi2, bisa ditangkap. Bahasa dan aksaranya kan sudah dilarang.”
“Di pulau Buru awalnya tidak ada rumah, hanya ada bedeng. Pulaunya masih hutan. Banyak ular dan biawak. Ke mana-mana harus jalan kaki. Harus macul, babat hutan, tanam padi. Banyak teman yang sudah tua yang mati.”
“Banyak yang gak mau balik ke Jawa waktu penjara itu ditutup. Takut lupa caranya hidup normal, seperti Apek sekarang. Takut gak diterima kerja di mana-mana, seperti Apek sekarang. Takut istri sudah kawin lagi, takut anak dan saudara gak mau terima bapak PKI, takut semuanya.”
“Apek tidak takut kembali ke sini?”