“Baik. Semua baik, Nyonya Ong. Banyak istirahat, jaga makanan, juga jalan pagi,” begitu selalu dokter Nasir, dokter sepuh langganan keluarga kami dulu selalu mengatakan kepadaku, dengan senyum lebarnya yang sulit untuk dilupakan siapa pun yang pernah mengenalnya. Namun, tidak hari itu.
“Saya belum bisa memastikan, Nyonya. Harus dicek dulu di laboratorium,” katanya tanpa senyum saat memeriksa dan mendengarkan keluhanku. Kakiku sudah sering sekali kesemutan dan gerakanku sudah semakin lamban. Aku sering sekali melupakan hal-hal yang dulu begitu mudah kuingat. Itu jelas tanda-tanda penuaan, penurunan dan kepikunan yang berlangsung amat cepat. Wajah dokter Nasir terlihat kuatir. Dari perubahan sikap dan cara bicaranya kusimpulkan bahwa keadaanku memang sudah amat menurun. Dalam perjalanan pulang dengan beechia dari tempat praktiknya, aku terus melamun.
Sudah bertahun-tahun aku memohon pada Sang Maha Kuasa, agar mengambil Giok sebelum dia mengambilku. Jika aku mati sebelum dia, tidak ada yang akan peduli kepadanya. Saudara-saudaranya tak mungkin peduli merawatnya seperti aku. Para kuliwo bahkan tak mau mencuci celana dalamnya yang selalu belepotan lendir kemaluan, kencing dan terkadang tahi saat Giok tidak keburu membukanya saat kebelet berak.
Aku tahu, jika aku mati sebelum dia, saudara-saudaranya hanya akan membuangnya di rumah sakit jiwa. Orang-orang di sana tidak akan mengurusnya. Dokter dan perawat akan menyuntiknya dengan obat bius saat dia mengamuk. Petugas keamanan akan mengikat dan memukulinya. Sesama penghuni akan mengeroyoknya.
Suatu hari, dalam keputusasaanku, aku dikuasai pikiran yang amat buruk. Aku harus berbuat sesuatu sebelum aku menjadi pikun dan lumpuh. Dengan pengetahuan yang diajarkan ibuku dulu sekali di rumah besar di Fuqing, aku bisa meramu berbagai ramuan. Ada ramuan yang bisa membuat orang sembuh. Dan ada yang bisa membuat orang … mati.