Kulihat potret malam tahun baru beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku duduk di tengah sebagai orang yang paling dituakan. Aku gembira, akhirnya semua anakku ada di dalam bingkai yang sama. Ada Han yang sudah bebas, tentu di sebelah Pei. Ada Siauw dengan istri Sunda-nya. Giok mengenakan pakaian merah terbagusnya di potret terakhirnya itu. Senyumnya hari itu terlihat begitu tulus dan bahagia, berbeda dari potret tahun-tahun sebelumnya. Kuletakkan potret itu di samping ranjangku, lalu kulihat potret malam tahun baru terakhir. Aku sedih sekaligus merasa lega. Tidak ada lagi Giok di sana.
“Ini hari apa, suster?” tanyaku pada perawatku.
“Rabu. Tadi kan sudah tanya dua kali, Oma.” Jawabnya ketus. Dia tidak memanggilku Juragan seperti para kuliwo.
Tidak lama setelah kematian Giok aku tidak bisa berjalan, apalagi bekerja, memasak atau apa pun. Itu mematikan semangatku. Aku tidur, mandi, kencing dan berak di tempat tidurku. Tjempaka seringkali datang menampakkan diri, tertawa mengejekku.
“Rupa dan baumu tak karuan, Leng. Kau tak hentinya mengomel. Perawat dan kuliwo-mu yang tinggal satu sudah bosan mengurusmu! Kau tahu apa yang mereka katakan di belakangmu?”
“Mengapa terus berbaring, Leng? Pergilah keluar dan hirup udara segar untuk kesehatanmu. Bukan udara berbau tahi seperti di kamar ini,” lanjutnya terus mengejek.
Aku tahu Tjempaka yang membuatku lumpuh. Dia memang tidak bisa merasukiku atau membunuhku, namun dia bisa melemahkanku, salah satunya dengan kelumpuhanku. Seperti tekadnya saat kematian Yung, dia memang berhasil membuat tahun-tahun masa tuaku penuh sengsara.
Tjempaka jahanam itu pasti tahu, untuk seorang perempuan yang pernah berbadan kuat dan tidak bisa berhenti bekerja, ketidakberdayaanku benar-benar menyengsarakanku. Yung dan kemudian anak-anakku selalu memberiku cukup uang, namun aku terus ingin bekerja. Aku tahu tempat-tempat di mana aku bisa mendapatkan barang-barang yang banyak dicari orang Mantuong, baik huangiang maupun tonneng, seperti kerupuk udang dari Sidoardjo, kue tambang dari Tegal, dan muajie1 dari Cirebon.
Semuanya dikirim dengan kereta api ke gudang kecilku di dekat stasiun, lalu kukirim ke kios-kios langgananku di Pasar Baru, Encim Tjai, Encim Tan, Encek Lim, Ibu Sukasah dan banyak lagi. Aku tak pernah mendapat tanda terima dari mereka, tapi masa itu tidak ada pelanggan yang menipuku. Saat aku masih punya mobil, aku mengirim dagangan dengan mobil. Belakangan, saat toko Yung bangkrut karena salah kelola dan pertengkaran anak-anakku, saat keadaan menjadi sulit di tahun-tahun berbahaya, aku harus pindah ke rumah kecil dan kendaraan terpaksa dijual, aku tetap bekerja dan pergi mengirim daganganku dengan beechia.
Ada beberapa tukang beechia yang sering mengantarku, namun yang paling kupercaya adalah seorang yang lebih sering kupanggil nileung, si tuli, sampai aku lupa nama sebenarnya. Kupanggil demikian karena dia memang tuli melebihi Cholil. Dia jujur dan tak pernah ikut berjudi dengan tukang-tukang beechia yang lain, sehingga bisa menabung untuk membeli beechia-nya sendiri. Belakangan, kudengar dia memiliki beberapa beechia lain yang disewakannya. Aku gembira untuknya. Si tuli itu sudah menjadi juragan beechia!
“Oneng, masih ada uang?” tanyaku pada satu-satunya kuliwo di rumahku.
“Ada, Juragan. Mau beli apa?”
“Belikan martabak coklat kacang sanfransisko buat Ken.”
“Kan biasanya Sabtu, Juragan?”