Sekolahku jauh dari rumahku. Katanya sekolahku termasuk salah satu sekolah swasta yang elit di Bandung. Di situ, kami para siswa Tionghoa bisa dihitung jari—yang lain kebanyakan anak-anak bukan Tionghoa. Kebanyakan dari mereka, sejujurnya, tidak mempermasalahkan apa pun soal kami. Tapi ada segelintir manusia di sekolah dengan suara mereka yang tajam dan jahat sering kali cukup keras untuk membekas.
Seperti hari ini, ketika aku baru saja membuka buku catatan, sebuah suara dari belakang terdengar, “Ngapain rajin-rajin? Lulus juga paling lu dagang, buka kios di Pasar Baru!” Aku mendongak, melihat cengiran si Yura dan teman-temannya. Aku tahu beberapa teman pribumiku yang lain diam saja; mereka hanya menunduk, pura-pura sibuk. Teman-teman Tionghoa ya selalu bersikap Lebih baik ngalah meski gak salah. Mungkin diam adalah pilihan yang paling aman. Sepertinya, itulah yang mereka dan kami pikirkan.
Kebanyakan guru sebenarnya cukup baik, namun ada saja satu atau dua yang memandang kami dengan dingin. Pak Ando, guru sejarah, kadang sengaja mengabaikan pertanyaanku, atau memberikan komentar aneh, seolah-olah aku dan “golonganku” adalah mahluk dari planet Pluto yang tak tahu apa-apa tentang sejarah Indonesia. Tapi ada juga Bu Rina, guru bahasa Indonesia, yang selalu memuji tulisan-tulisanku, dan sering kali mengajak bicara tentang pelajaran tanpa ada embel-embel ini itu.
Di tengah semua ini, tentu saja aku masih punya teman baik dari golongan non-Tionghoa. Ada Adrian yang dipanggil Anjoy oleh semua teman – entah dari mana asal panggilan itu, temanku yang setiap istirahat membagi makanannya, tertawa bareng, atau saling cerita soal tugas-tugas PR yang bikin stres. Ada Bachti yang sepertiku, suka dan hafal banyak lagu Beatles yang sudah bubar bertahun sebelumnya tapi selalu poreper1, begitu kami menyebutnya dalam lafal Sunda. Ada Diah juga, yang suka curhat soal guru-guru cowok yang menurutnya suka cunihin2 seperti Pak Iyep dan Pak Aang. Tentu aku masih bisa ketawa bareng mereka, lupa sejenak dengan suara-suara tajam dari “golongan satunya” itu, yang memang menjengkelkan, baik yang cowok, apalagi yang cewek.
Sekolah jalan terus, begitu pun hidup. Aku tahu yang sedikit itu tidak akan benar-benar mengubah bagaimana aku menjalani hariku. Dan aku tahu, yang diam itu diam karena memilih tidak bersuara, bukan karena mereka setuju. Aku berharap suatu hari suara yang baik akan lebih lantang dari suara yang sinis, tapi untuk sekarang, aku tetap menjalani sekolah dengan apa adanya.
Tentang Bandung, kotaku, adalah kota yang isinya macam-macam. Orang-orangnya lemah lembut meski tidak semua bersahabat. Perempuannya gareulis3. Di satu sisi ada anak-anak rocker dan hippie yang rambutnya gondrong sepunggung. Di lain sisi adalah anak-anak yang kreatif dalam dunia musik dan banyak hal lain. Semua tahu, Bandung adalah gudangnya para penyanyi dan band-band hebat, dari berbagai genre. Saat remajaku, music rock, balada dan country mendominasi. Ada satu pemusik tunanetra jalanan yang selalu mangkal di Jalan Braga dengan kecapi dan harmonikanya, dan sangat hafal banyak lagu Rolling Stones, karena itu dijuluki Braga Stone. Beliau sering diundang ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus.
Kalau mau beli kaset bajakan murah, kami pergi ke Pasar Cihapit. Rumah yang paling keren di Bandung saat itu adalah Rumah Panglima Siliwangi di Jalan Wastukencana. Radio yang paling kusukai adalah Radio Oz, dengan acara favorit adalah saling kirim salam untuk pacar atau calon pacar lewat acara “pilihan pendengar.” “Kamana ‘njing?” merupakan sapaan akrab di antara teman. Tentu kami tak benar-benar ngatain teman kita sendiri “anjing.” Semua kendaraan umum disebut honda tanpa ada yang peduli merek aslinya apa. Masih ada juga oplet tahun 1930-an yang setia mengantar jurusan Ciumbuleuit - Stasion dan Kalapa – Ledeng.
Yoghurt Cisangkuy adalah tempat wajib buat nongkrong setiap pulang sekolah di hari Sabtu buat teman-temanku yang banyak uang. Aku sih jarang ke sana karena jarang punya uang. Siomay yang terkenal Siomay Hoki yang gerobaknya seliweran dan mangkal di mana-mana. Yamien4 yang selalu jadi favoritku adalah yamien Linggarjati di Jalan Balonggede, dengan es alpuketnya yang tiada duanya.
Nonton paling seru dan murah bagiku pasti di Panti Karya. Filmnya selalu antara Warkop, Rano Karno dan Yessy Gusman, dan telat main filmnya sekitar tiga bulan dari bioskop mewah langganan para anak kaya di sekolah seperti President, Majestic dan Paramount, yang harga tiketnya bisa tiga kali lebih mahal. Dulu, aku sering diajak Papi Mami ke golongan bioskop yang kusebut terakhir. Lalu, keadaan berubah. Sabarlah, akan kuceritakan nanti.
Dan, di sekolah dan di semua tempat itu, selalu saja ada yang memanggilku “Akew!” - ujaran rasis bagi anak laki-laki Tionghoa.
Saat aku sekolah, aku tentu selalu menghormati semua guruku, yang baik maupun yang rasis. Tidak ada guru dalam keluarga besarku, sehingga aku tak tahu seperti apa kehidupan guru. Kudengar, dulu Akuh Giok adalah seorang guru taman kanak-kanak, sebelum dia jadi “begitu”. Guru, bagiku saat itu, seperti punya hidup yang “sempurna”: pintar, moralis, punya keluarga bahagia, anak-anaknya pun pintar, dan patut menjadi panutan.
Suatu hari di sekolah, saat aku kelas 2 SMP aku harus mengikuti ujian susulan di ruang guru. Saat itu ada beberapa guru, yang kebetulan semuanya ibu guru. Mereka riuh bercakap, saling curhat dan bergunjing, tanpa memedulikan keberadaanku, Kuingat saat itu ada Bu Djudju, guru PMP, Bu Mariah, guru Bahasa Indonesia - Sastra, Bu Farida, guru kesenian, dan satu guru lagi yang tak ingin kusebutkan namanya.
“Katanya sekolah elit, kok guru diperlakukan seperti ini. Sudah enam tahun saya ngajar, belum juga ada surat pengangkatan sebagai guru tetap.”