Sekolahku jauh dari rumahku. Katanya sekolahku termasuk salah satu sekolah swasta yang elit di Bandung. Di situ, kami para siswa Tionghoa bisa dihitung jari—yang lain kebanyakan anak-anak bukan Tionghoa. Kebanyakan dari mereka, sejujurnya, tidak mempermasalahkan apa pun soal kami. Tapi ada segelintir manusia di sekolah dengan suara mereka yang tajam dan jahat sering kali cukup keras untuk membekas.
Seperti hari ini, ketika aku baru saja membuka buku catatan, sebuah suara dari belakang terdengar, “Ngapain rajin-rajin? Lulus juga paling lu dagang, buka kios di Pasar Baru!” Aku mendongak, melihat cengiran si Yura dan teman-temannya. Aku tahu beberapa teman pribumiku yang lain diam saja; mereka hanya menunduk, pura-pura sibuk. Teman-teman Tionghoa ya selalu bersikap Lebih baik ngalah meski gak salah. Mungkin diam adalah pilihan yang paling aman. Sepertinya, itulah yang mereka dan kami pikirkan.
Kebanyakan guru sebenarnya cukup baik, namun ada saja satu atau dua yang memandang kami dengan dingin. Pak Ando, guru sejarah, kadang sengaja mengabaikan pertanyaanku, atau memberikan komentar aneh, seolah-olah aku dan “golonganku” adalah mahluk dari planet Pluto yang tak tahu apa-apa tentang sejarah Indonesia. Tapi ada juga Bu Rina, guru bahasa Indonesia, yang selalu memuji tulisan-tulisanku, dan sering kali mengajak bicara tentang pelajaran tanpa ada embel-embel ini itu.