Papi pernah bilang kepadaku, “Di negeri ini, jadi orang Tionghoa gak boleh miskin. Ada dua cara orang Tionghoa bisa dihargai di sini: jadi kaya atau jadi juara badminton. Orang kaya seperti Liem Sioe Liong bisa makan semeja dengan Soeharto. Juara seperti Rudy Hartono dan Liem Swie King juga bisa diundang ke istana. Kalau kau kaya, paling tidak sesama Tionghoa akan menghargaimu. Yang bukan Tionghoa mungkin tidak suka padamu, tapi pasti suka uangmu. Yang paling sial adalah Tionghoa miskin di negeri ini. Dihina baik oleh sesama Tionghoa dan bukan Tionghoa. Di mata “mereka”, semua orang Tionghoa pasti punya uang. Orang Tionghoa yang dicopet atau dirampok kebanyakan orang Tionghoa miskin yang naik honda, jalan dan jualan di pasar atau motornya dibegal atau yang rumahnya masuk gang, campur sama “mereka”. Yang punya mobil dan rumahnya di gedong mah jarang jadi sasaran.” Di kemudian hari, saat kami beneran jatuh miskin, banyak kali kulihat kata-kata Papi itu terbukti.
Suatu siang, saat pulang dari sekolah, aku mendapati Papi di depan televisi, menyaksikan pertarungan tinju yang belakangan kutahu pertarungan bersejarah antara Muhammad Ali melawan Joe Frazier. Pertarungan itu disebut bersejarah karena sikap Ali yang berani menentang pemerintah negerinya, Amerika. Itu pertarungan Ali setelah dirinya bebas dari penjara karena menolak wajib militer untuk pergi berperang di Vietnam. Aku beruntung ikut menyaksikan langsung pertarungan itu, meskipun tak benar-benar mengerti tinju saat itu.Hari itu Ali pertama kali mengalami kekalahan dalam karirnya. Ali pun dipaksa mencium kanvas, istilah tinju untuk orang yang dipukul jatuh, meski bisa bangkit kembali. Ali, di kemudian hari dalam hidupku, menjadi tokoh yang sangat kukagumi. Kukagumi dia bukan hanya karena kehebatannya bertinju, namun terutama kemanusiaan dan keberaniannya."Aku tak memiliki masalah dengan para Viet Cong di Vietnam. Untuk apa kubunuh mereka?" ujarnya saat menolak wajib militer.Kukagumi juga keberaniannya bersuara sebagai bagian dari minoritas ganda di negerinya – sesuatu yang tentunya amat kurasakan dalam hidupku. Dia terlahir sebagai etnis minoritas, lalu bersikap berani dengan memeluk agama minoritas, dan dia berani melawan pemerintahnya, yang menurut dia sewenang-wenang membunuhi warga Vietnam.Saat itu, aku bertanya pada Papi, “Kalau jatuh sepuluh kali tapi bisa bangun lagi, terus bisa bales jatuhin dan musuhnya yang gak bisa bangun, yang menang yang jatuh sepuluh kali itu?”“Betul,” jawabnya.Aku tak pernah – dan tak ingin bertinju – namun pernah beberapa kali berkelahi. Aku pernah melukai dan dilukai musuhku. Aku jelas tahu bahwa terpukul di wajah, terutama di hidung itu rasanya amat menyakitkan.Seorang tetangga yang menjadi atlet tinju, bercerita kepadaku, di atas ring itu semuanya adalah gambaran mini tentang hidup. Waktu kita jatuh, ada banyak symbol-simbol yang muncul. Kita sendiri, dalam kesakitan, pusing, mual, sesak napas, harus tetap memaksa bangkit. Wasit, seperti hidup, tidak akan menunggu, dan akan langsung menghitung. Musuh kita bersiaga menunggu kita, bisa jadi dengan pongah atau mengejek. Jika kita bangun, dia akan langsung menghajar kita lagi. Jika kita tetap jatuh sampai hitungan kesepuluh, dia akan mengangkat tangan dan bersorak. Tim kita sendiri, ceritanya berusaha menyemangati, menyuruh kita lekas bangun, padahal tahu apa mereka? Atau mereka akan melihat kita dengan pandangan kasihan – nah, ini pun hal yang amat menjatuhkan kepercayaan diri. Penonton? Nah, ini golongan paling kejam. Mereka golongan pencemooh yang akan selalu gembira melihat kejatuhan kita. Menurut tetanggaku, hidup juga seperti itu. Ada kegagalan, ada musuh, wasit, pendukung (atau ceritanya pendukung), penonton dan pencemooh. Aku setuju. Menurutnya lagi, jatuh sekali saja sudah menyakitkan tubuh dan jiwa, apalagi berkali-kali. Kepercayaan diri dan harapan akan sangat tergerus. Akibatnya, banyak yang memilih menyerah saja. Jika ada yang jatuh, lalu bisa bangkit, dan malahan menang, itu benar-benar bukti ketangguhan mental yang di atas rata-rata.Kusadari itulah yang terjadi selama hidup Papi. Jatuh berkali-kali, namun selalu bangun lagi. Terseok-seok dan limbung, tapi selalu berusaha bangkit lagi. Jatuhnya gimana? Wah, banyak sekali. Mulai dari kebangkrutan, diomongin dan dikucilkan keluarga besarnya, kesalahan-kesalahannya sendiri, masalah dengan Mami, dan masih banyak lagi. Suatu hari, saat aku bermain dengan adik-adikku di luar rumah, kami melihat Papi dituntun masuk mobil polisi. “Papi pergi dulu sebentar ya, anak-anak. Masuklah!” katanya saat masuk mobil. Belakangan, yang Papi bilang “pergi sebentar” itu ternyata menjadi lebih dari setahun. Papi menginap di tempat yang tidak boleh kami kunjungi. Mami? Sengaja tetap tinggal di dalam, karena tidak mau melihat Papi seperti itu. Mami sendiri pernah pergi ke Jakarta untuk bekerja.Sejak itu, keadaan keluarga kami sangat berubah. Dalam banyak hal. Kami menjadi orang-orang Tionghoa miskin, golongan “paling sial di negeri ini”, menurut Papi.Setelah beberapa waktu yang terasa amat lama, Papi keluar dari “tempat itu” dan Mami kembali ke Bandung. Kami kembali menjadi keluarga yang utuh. Namun, banyak peristiwa terjadi saat kami tercerai berai.