Hari-hari yang lalu sudah kuceritakan tentang perubahan hidup keluarga kami saat tiba-tiba jatuh miskin. Tentunya kami tak berlama-lama mengeluh dan meratap.
Seorang yang menjadi panutanku dalam bersikap tegar adalah Mami, yang menghadapi semua dengan amat tabah. Dalam kegalauannya mendampingi suami yang bangkrut, lalu masuk penjara dan anak-anak yang mengeluhkan perubahan situasi, dia tetap terlihat bercanda, bernyanyi dan terbahak-bahak nonton acara televisi, sebelum televisi itu dijual. “Gak apa ya, sementara kita gak nonton TV. TV nya juga sudah jelek dan sering rusak. Nanti kita beli lagi TV baru yang besar dan berwarna ya,” kata Mami suatu siang, saat kami pulang sekolah dan mendapati televisi itu sudah tidak ada. Baiklah, Mami, batinku.
Aku tentunya tahu dia menutupi kegalauannya dengan sikap cerianya. Tentu tidak mudah baginya, yang sebelumnya selalu berusaha tampil cantik dan merawat dirinya dengan perawatan kulit yang mahal. Di meja riasnya sebelumnya selalu tersedia kosmetik impor. Sesudahnya, hanya ada kosmetik murah yang mereknya sama dengan yang dipakai para asisten rumah tangga kami yang sekarang tinggal satu orang. Sebelumnya, empat. “Ini lebih bagus daripada kosmetik Eropa dan Jepang, lebih sesuai untuk iklim Indonesia,” kata Mami. Baiklah, Mami.
Perubahan berimbas ke banyak sisi hidup kami. Yang paling terasa bagiku, adalah kami yang tadinya naik mobil pergi dan pulang sekolah, tiba-tiba harus naik becak. Aku sering turun agak jauh dari sekolah, agar tidak kelihatan teman-temanku saat turun dari becak. Perubahan lain, uang sekolah hampir selalu terlambat kami bayarkan setiap bulan. Setiap akhir bulan, kami dibagikan amplop berisi kartu pembayaran uang sekolah. Di kartu itu ada data pembayaran kami. Kartu itu seharusnya dikembalikan beserta uang sekolah sebelum tanggal 10 setiap bulannya. Bagiku dan adik-adikku, tanggal yang tertulis di kartu selalu lewat, bahkan kadang sampai mendekati akhir bulan berikutnya. Yang paling kutakuti setiap tanggal 15 adalah figur Ibu Didi, kepala tata usaha sekolah yang berkeliling dari kelas ke kelas, membacakan nama para siswa yang belum membayar bulan itu. Namaku langganan disebut setiap bulan. Aku sering berusaha bolos setiap tanggal itu, untuk menghindari mendengar namaku sendiri, pandangan menyalahkan dari Ibu Didi, dan pandangan mengejek dari teman-teman sekelas.
“Lu kalo gak bisa bayar, jangan sekolah di sin,!” “Lu pindah aja ke sekolah kampung, biar bapak lu bisa bayar,” Itu sebagian saja dari komentar yang kudengar setiap bulan. Begitulah yang terjadi di sekolah elit. Ada anak-anak kaum borju yang selalu mencemooh apa saja.