Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #31

Hulk

Salah satu tokoh superhero kesukaanku adalah Hulk, seorang dengan dua kepribadian yang berlawanan. Sebagai manusia normal, dia adalah seorang ilmuwan yang kalem dan pemalu. Saat dia marah besar, dia akan menjadi raksasa berotot yang berkulit hijau, dan akan menghancurkan siapa saja yang membuatnya marah. Dalam beberapa hal, selalu ada Hulk dalam diriku.Dulu aku memelihara kucing betina yang kuberi nama Bianca karena bulunya seratus persen putih. Dia tak sekedar kucing peliharaan bagiku, namun juga sahabat baikku dan pada gilirannya, guruku juga. Bianca adalah mahluk yang lembut, tidak suka banyak tingkah, apalagi berantem. Tapi jangan pernah menganggap remeh Bianca. Di saat-saat tertentu, terutama pada saat dia baru melahirkan, Bianca menjadi mahluk betina yang ganas dan menakutkan. Dia hanya percaya kepadaku.Di saat-saat sebelumnya, Bianca cenderung penakut. Saat kucing-kucing lain merebut makanannya, Bianca akan mengalah, minggir, lalu kemudian makan sisaan si kucing perebut itu. Saat Bianca punya anak, jangan coba-coba mendekati anak-anak dan makanannya. Dia bahkan tak akan segan berkelahi dengan kucing jantan bertubuh jauh lebih besar, yang biasanya merundungnya, yang mungkin saja ayah dari anak-anaknya, meski aku tak tahu jelas Bianca kawin dengan siapa saja di sudut-sudut rumah dan jalanan, dan di atas genteng rumahku atau rumah tetangga. Bianca akan menjadi sangat nekad, dan itu bisa kumengerti, karena itu pun terjadi padaku.Bianca mengingatkanku pada diriku. Penakut, mudah digertak dan dirundung teman-teman dan sepupuku yang lebih besar atau lebih galak, atau anak-anak tikungan Tampomas yang dikepalai si Kemod. Aku cenderung menghindari mereka sampai rela berjalan memutar. Sampai suatu hari, kuanggap Kemod dan kroco-kroconya, yang merasa diri jagoan tikungan, sudah keterlaluan. Dia menjambak rambut gondrongku dan menyeret kepalaku sampai ke dekat selokan yang baunya minta ampun. Teman-teman geng-nya menertawakanku. Sok, ngalebok tai, Kew1!” Di saat itulah, seperti Bianca, aku mendadak menjadi monster ganas, di luar dugaan dan pastinya di luar rencanaku. Pastinya juga, di luar dugaan musuhku. Dari posisi tertekan dengan wajahku di bibir selokan, kukepalkan tinju, lalu kulayangkan tinjuku bertubi-tubi ke wajah Kemod yang bengis, terutama hidungnya. Darahnya mengalir deras, menodai kaus putihku. Darahku sendiri mengucur deras dari hidungku karena tonjokan Kemod dan teman-temannya. Aku tentu tidak memenangi pertarungan tidak seimbang itu, tapi hari itu aku paling sedikit berhasil mengejutkan dan membuat jeri geng tikungan pecundang itu.“Akew gelo! Kaasupan jurig2!”Aku mengingat kejadian itu dengan heran. Itu sama sekali bukanlah diriku yang “normal.” Aku selalu takut dan menghindari perkelahian, tapi hari itu kejadiannya ya begitu deh. Sebelum dan setelah hari itu, aku amat jarang sampai harus berkelahi. Setelah hari itu, Kemod dan jongos-jongosnya tidak pernah lagi merundungku, namun aku pun tak merasa perlu bersikap jumawa terhadap mereka. Semua berjalan seperti tak pernah ada apa-apa.Kemudian, aku sadar, dalam diriku kadang ada suatu titik di mana aku bisa bertindak nekad. Seperti Hulk dan Bianca, titik itu tidak bisa dihadirkan dengan sengaja, tapi yang jelas dia ada, di suatu tempat di alam bawah sadarku. Di kemudian hari, kenekadan itu beberapa kali timbul saat aku menghadapi orang-orang di sekolah – teman dan guru, bahkan juga terhadap beberapa senior di dalam keluargaku. Kenekadan itu kadang berbuah manis, namun tak jarang juga berbuah pahit. Aku tak membanggakannya, namun tidak juga menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk.Kenekadan itu juga tak selalu tentang perkelahian atau pertengkaran. Dia pun muncul saat harus tampil di muka umum – sesuatu yang dulu selalu kuhindari – atau pun mencoba sesuatu yang baru, seperti mulai menulis, atau pun mengikuti lomba. Selalu ada pikiran-pikiran yang terus datang seperti hantu. Bagaimana kalau jelek? Bagaimana kalau orang tidak menyukainya? Bagaimana kalau kalah? Bagaimana? Bagaimana? Saat seperti itulah, kenekadan itu sering tiba-tiba muncul, dan dia tak terlalu peduli dengan hasil ataupun penilaian orang lain.

1Ayo, makan tahi, Akew! - Sunda

2Akew gila! Kemasukan setan! - Sunda

Lihat selengkapnya