Suatu hari saat aku baru mulai masuk SMP, aku bermimpi. Mimpiku amatlah aneh dan saat itu tak kumengerti. Saat aku bangun, aku merasa amat lemas. Seluruh tulangku berbunyi gemeretak saat kuregangkan tubuhku. Yang membuatku terkejut bukan kepalang adalah saat kudapati celanaku basah kuyup. Terntu saja aku terkejut-kejut. Aku tak pernah mengompol sejak aku berusia tiga tahun. Segera kusadari, kebasahan itu bukanlah peristiwa pengompolan biasa.Sejak hari itu hidupku berubah. Tubuhku jelas berubah. Suaraku mulai berubah, tidak lagi seperti suara anak kecil. Aku tak bisa lagi menyanyi bahkan dalam nada-nada tak terlalu tinggi, yang biasanya dengan mudah kunyanyikan. Tahun itu, aku tumbuh sekitar sepuluh senti sampai semua celana panjangku mengatung. Sepatuku bertambah besar tiga nomor dalam setahun. Kasihan orang tuaku harus membelikanku sepatu dua kali dalam setahun. Lalu, mulai tumbuh rambut di bawah hidung dan daguku, ketiak, lengan dan kakiku, dan tentunya di suatu bagian lain tubuhku. Mengenai bagian yang satu itu, dia menjadi semakin liar. Aku bisa mengendalikan gerakan kaki, lengan dan leherku, tapi tidak dengan dia. Dia tidur, menggeliat dan bangun sesuka hatinya. Aku merasa aneh, namun segera sadar bahwa dia tak hanya menempel di tubuhku untuk sekadar menjadi selang kencing. Saat itu hubunganku dengan orang tuaku juga sedang tidak nyaman, sehingga perubahan-perubahan itu tak kuceritakan kepada mereka. Aku lebih suka menceritakannya kepada teman-teman sebayaku. Kami saling melapor dan cerita apa saja. Tentunya juga hal-hal yang membuat bagian tubuh satu itu bangkit dari tidurnya. Kami mulai sadar reaksi kami jika melihat tubuh lawan jenis kami, apalagi tontonan dan bacaan yang menjurus “ke sana.” Para kakak kelas SMA dan beberapa guru sepertinya lebih menarik untuk dibahas, karena teman-teman SMP masih belum terlalu berbentuk perempuan. Kami pun sering diam-diam membahas dan menertawakan bagian-bagian tubuh teman-teman lawan jenis. Ada yang kami juluki “si papan cucian” saking ratanya tubuhnya. Saat itu di banyak rumah kami memang masih mencuci dengan papan seperti itu. Ada teman lain yang kami juluki “si segitiga pengaman” karena tubuhnya kecil di atas dan besar di bawah. Satu teman lain kami juluki “si penggilas jalan” saking menonjolnya bagian atas dan bawahnya. Begitulah perilaku kami para anak-anak yang berada di masa peralihan. Kami tidak ingin dianggap anak-anak lagi, namun perilaku kami jelas jauh dari kedewasaan.Saat kami berkumpul, kami sering patungan membeli rokok dan minuman keras murahan. Semuanya tak pernah benar-benar kunikmati, dan aku bersyukur jika sampai hari ini aku tidak bisa merokok dan tak terlalu suka minum. Aku batuk-batuk hebat saat temanku mengajariku merokok, dan seluruh geng menertawakanku. Dulu aku malu, sekarang aku bersyukur.Selain perubahan fisik, perubahan emosiku juga amat tidak terkendali. Aku mulai berani melawan orang tuaku dan mendebat guru-guruku, selain juga amat mudah tersinggung terhadap teman sebaya. Saat itu aku lama tak ke gereja, tapi aku yakin aku pun akan berani mendebat para rohaniwan dan pengurus gereja. Aku sadar, aku mulai anti pada kemapanan-kemapanan nilai-nilai yang ditanamkan pada orang-orang tua dan berwenang itu. Dalam banyak hal, kunilai banyak dari mereka munafik. Sikap itu masih ada hingga kini, meski aku tak lagi terlalu suka berdebat seperti dulu. Selain itu, aku jelas sadar bahwa dalam banyak hal, aku tidaklah lebih baik atau pun lebih benar dari mereka.Di hari-hari itu, aku mendapatkan kebiasaan yang menjadi kecanduan. Setiap pulang sekolah, sebelum mengganti pakaianku, aku, dalam keadaan telanjang akan melakukan sesuatu dengan tanganku kepada anggota badanku yang “bukan hanya sekadar selang kencing.” Aku melakukannya setiap hari, dengan membayangkan bintang filem berbikini yang pernah kulihat di salah satu tontonan, memejamkan mata, mendesah, dan berhenti saat getah kental keluar dari bagian tubuhku. Suatu hari, saat aku sedang menikmati saat-saat itu, aku tak sadar aku lupa mengunci pintu. Seseorang tiba-tiba masuk kamar, melihatku dalam keadaan telanjang bulat, menatapku, mengunci pintu, mendekatiku, menamparku, membalikkan tubuhku sambil membuka celananya sendiri. Saat aku ingin berteriak, dia membekap mulutku dan kembali menamparku dari belakang sambil menghardikku, “Diam, Akew! Kau akan menikmati ini segera!”. Benda tumpulnya sudah kurasakan menempel pada bagian belakangku, saat kulihat pintu didobrak dan Akuh Giok muncul, menjambak rambut gondrong orang itu, membentur-benturkan kepalanya ke tembok sampai bocor memuncratkan darah. Orang itu pingsan. Tapi itu bukan bagian yang paling mengerikan. Akuh Giok kemudian mendekati bagian bawah orang itu dan melakukan sesuatu dengan giginya pada kemaluan si gondrong. Si gondrong tersadar dengan darah mengucur deras dari burungnya. Setelahnya, si gondrong dikeroyok oleh tukang-tukang becak di depan rumah. Aku tak pernah bisa mengerti, bagaimana seorang perempuan gemuk lembek yang tidak waras seperti Akuh Giok bisa tahu apa yang terjadi di kamarku, mendobrak pintu yang terkunci, lalu menghajar si gondrong berbadan kekar yang tangannya bertato dan mulutnya bau minuman keras itu. Hal itu selamanya menjadi teka teki bagiku. Suatu hari, lama setelah kejadian itu, aku akhirnya mengerti, banyak hal yang tidak masuk akal yang bisa terjadi, termasuk kejadian Akuh Giok menyelamatkanku dari pemerkosaan hari itu ....