Aku duduk di bangku kayu di bawah pohon akasia di belakang sekolah. Naomi di sampingku, tangannya memegang buku perpustakaan yang sedang dipinjamnya, Gema Sebuah Hati karya Marga T. Angin Bandung di bulan September itu mengusap lembut wajah kami, tapi rasanya seperti ada yang mengganjal di udara. Kami masih di sini, terdiam setelah jam pelajaran usai.
“Gimana kamu sama Ando, Ken?” tanya Naomi.
Aku tak ingin membahas hal yang ditanyakan Naomi. Minggu lalu, Amah datang ke sekolah untuk pertama kalinya sejak aku masuk taman kanak-kanak. Malam sebelumnya, kutunjukkan surat panggilan dari sekolah kepadanya. Dia hanya melihat kalimat-kalimat di surat itu tanpa mengerti.
“Amah, ini surat panggilan. Besok Amah diminta datang ke sekolah,” jelasku.
Amah diminta datang sebagai waliku karena orang tuaku tidak berada di tempat. Amah datang dengan becak besok siangnya, tepat pada jam istirahat. Orang-orang di sekolah memandanginya saat dia berjalan di lorong-lorong sekolah dan melintasi lapangan olahraga. Mereka seperti keheranan, kedatangan nenek-nenek Tionghoa yang berbahasa Indonesia dengan pelo dan berpakaian encim-encim yang mungkin biasanya hanya mereka lihat saat sedang berbelanja di pasar Andir atau Cibadak. Beberapa terdengar menyoraki dan menertawakannya.
“Mau dagang jangan di sini, Ini sekolahan, bukan Pasar Pamoyanan, Cim!” satu suara kudengar, diikuti gelak tawa beramai-ramai. Aku menutup telinga mendengar semua itu dan mengantar Amah menuju kantor kepala sekolah. Orang-orang segera tahu, Amah adalah nenekku. Karena itu, di kemudian hari mereka, terutama dari golongan rasis, semakin gencar mengejekku.
Di ruangan, sudah ada Pak Nizar, kepala sekolahku, seorang lelaki yang sudah berumur yang selalu mengenakan peci hitam dan kemeja putih lengan pendek. Ada juga Pak Ando, guru sejarahku. Berbeda dengan Pak Nizar yang ramah, raut muka angkuh si guru itu terus cemberut dan sikapnya sama sekali tak menyenangkan. Amah mengangguk hormat pada keduanya. Aku pun menyapa mereka dengan sopan. Pak Nizar kemudian berbicara pada Amah dengan bahasa Indonesia sekolahan. Aku tahu Amah berusaha keras untuk mengerti.
“Ibu, terima kasih sudah datang. Maaf, Ibu siapanya Ken?” tanya Pak Nizar.
“Saya neneknya, Bapak Kepala.”
“Oh, neneknya? Baiklah. Apakah Ken sudah memberitahu mengapa kami memanggil Ibu?”
“Belum, Bapak Kepala.”
“Ken ini sepertinya punya masalah perilaku. Dia bersikap tidak sopan pada gurunya, Pak Ando,” kata kepala sekolah menunjuk pada guru itu.
“Maaf, tidak sopan bagaimana, Pak?” tanyaku, tidak terima pernyataan itu.
Aku terdiam saat Amah mengisyaratkan dengan tangannya agar aku diam.
“Ya, bagaimana, Bapak Kepala?” sahut Amah.
“Baik, Bu. Pak Ando, bagaimana sebetulnya kejadian hari Senin yang lalu?”
“Ken ini menanyakan sesuatu yang tidak seharusnya ditanyakan.”