Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #36

Amah

Aku melihat Amah dari jauh. Tubuhnya kurus dan bungkuk, tapi langkahnya selalu tenang dan cepat. Ia sedang duduk di kursi kayu di halaman, tangannya memegang secangkir teh panas yang selalu diseduhnya setiap pagi. Bau teh itu sudah akrab di hidungku, harum dan pahit, menyelimutiku dengan rasa aman. Teh itu tidak pernah manis, sama seperti hidup kami.

Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Kursi kayu itu dingin di bawahku. Aroma tubuh Amah sangat kukenali sejak masa kecilku, bau balsem Cap Macan yang tidak kusukai. Amah tidak menoleh, tapi aku tahu ia tahu aku di sana. Suara burung gereja di pohon belakang rumah dan desiran angin yang melewati daun-daun bambu adalah suara yang kudengar sejak kecil. Amah selalu mendengarnya tanpa berkata apa-apa, hanya duduk, melihat langit, dan menghela napas panjang.

Tangannya, penuh dengan urat-urat menonjol, meletakkan cangkir teh di meja kayu kecil di sampingnya. Aku menatap tangan itu. Kasar, tapi penuh kelembutan saat menyentuh kepalaku dulu, ketika aku masih kecil. Sekarang, aku lebih besar, tapi aku tahu Amah masih melihatku sebagai bocah yang sama.

Aku selalu suka kalau dulu Amah mengajakku berjalan-jalan di pagi hari. Udara dingin menempel di pipi, dan suara burung-burung terdengar seperti musik yang dibawakan tanpa peduli siapa yang mendengar. Amah berjalan cepat, seolah-olah dia masih seorang perempuan muda, meski rambutnya penuh uban dan keriput di wajahnya berlipat-lipat seperti buku tua yang sudah sering dibaca. Dia tak pernah mengeluh soal lelah, apalagi soal dingin. Dia malah sering berkata kalau dingin itu bagus untuk tulang. Aku tak tahu apakah itu benar, tapi kalau Amah bilang, aku percaya.

"Jangan kau jadi pemalas seperti anak-anak lain," katanya sambil memegang tanganku erat. "Biarpun masih muda, kau sudah harus tahu caranya kerja keras."

Aku mengangguk. Tapi diam-diam, aku berpikir kalau Amah kadang terlalu keras pada dirinya sendiri. Dia memang tangguh, tak pernah takut pada apapun, bahkan pada anjing tetangga yang terkenal galak itu. Tapi satu hal yang tak pernah hilang dari wajahnya adalah kesedihan. Setiap kali kami duduk di kursi kayu di depan rumah dan aku sedang mengelap keringat dari dahi, Amah pasti mulai bicara tentang Akuh Giok.

Lihat selengkapnya