Jika ada perempuan lain yang kusayangi selain Mami dan Naomi, itu sudah pasti Amah, perempuan dengan tubuh yang ringkih dengan jiwa perkasa di dalamnya. Perempuan yang sudah mengalami begitu banyak cerita hidup. Kadang aku melihat Amah seperti sudah lupa caranya tersenyum. Di kemudian hari pada saat aku lebih dewasa, aku akan tahu lebih banyak, dan aku akan semakin kagum, terbuat dari apa jiwa dan hati perempuan itu.
Aku melihat Amah dari jauh. Tubuhnya kurus dan bungkuk, tapi langkahnya selalu tenang dan cepat. Ia sedang duduk di kursi kayu di halaman, tangannya memegang secangkir teh panas yang selalu diseduhnya setiap pagi. Bau teh itu sudah akrab di hidungku, harum dan pahit, menyelimutiku dengan rasa aman. Teh itu tidak pernah manis, sama seperti hidup kami. Mungkin aku berlebihan, mungkin juga aku jujur saat mengatakan itu. Keluarga besar Amah sejak dulu sudah menghadapi begitu banyak warna kehidupan. Kadang kesulitan dari dalam diri kami sendiri. Kadang dari luar.
Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Kursi kayu itu dingin di bawahku. Aroma tubuh Amah sangat kukenali sejak masa kecilku, bau balsem Cap Macan yang tidak pernah kusukai. Amah tidak menoleh, tapi aku tahu ia tahu aku di sana. Suara burung gereja di pohon belakang rumah dan desiran angin yang melewati daun-daun bambu adalah suara yang kudengar sejak kecil. Amah selalu mendengarnya tanpa berkata apa-apa, hanya duduk, melihat langit, dan menghela napas panjang.
Tangannya, penuh dengan urat-urat menonjol, meletakkan cangkir teh di meja kayu kecil di sampingnya. Aku menatap tangan itu. Kasar, tapi penuh kelembutan saat menyentuh kepalaku dulu ketika aku masih kecil. Sekarang, aku lebih besar, tapi aku tahu Amah masih melihatku sebagai bocah yang sama. Bocah murung yang selalu disayangi, dilindungi dan dihiburnya. Tidak selalu dengan kelembutan tapi dengan ketulusan tatapan mata dan hati.
Aku selalu suka kalau dulu Amah mengajakku berjalan-jalan di pagi hari. Udara dingin menempel di pipi, dan suara burung-burung terdengar seperti musik yang dibawakan tanpa peduli siapa yang mendengar. Amah berjalan cepat, seolah-olah dia masih seorang perempuan muda, meski rambutnya penuh uban dan keriput di wajahnya berlipat-lipat seperti buku tua yang sudah sering dibaca. Dia tak pernah mengeluh soal lelah, apalagi soal dingin. Dia malah sering berkata kalau dingin itu bagus untuk tulang. Aku tak tahu apakah itu benar, tapi kalau Amah bilang, aku percaya.
"Jangan kau jadi pemalas seperti anak-anak lain, bangunlah pagi pagi dan mandilah dengan air dingin," katanya sambil memegang tanganku erat. "Biarpun masih muda, kau sudah harus tahu caranya hidup dan kerja keras." Aku mengangguk. Aku selalu menderita saat harus mandi dengan air Bandung jam enam pagi, tapi begitulah Amah mendidikku.
Amah sering berdoa lama di pintu kamarku. Kadang kadang sampai berjam jam. Dia kadang berkeliling ke sudut sudut kamarku. Mengucap doa di tiap sudut, jendela, di tempat tidurku. Dia tidak bilang apa yang didoakannya. Kadang matanya menatap tajam ke satu titik di kamar pengap itu. Mulutnya komat kamit membaca doa yang tak kumengerti, dan tangannya seperti mengusir atau sedang bertarung dengan sesuatu. Kadang dia bahkan menghardik dengan suara gunturnya. Saat saat sepertti itu, Amah menjadi seorang yang sangat berbeda, dan ia sangat membuatku takut