Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #37

Yinni-Kungchantang

Namaku Ong Giok Lan. Orang-orang memanggilku Giok.

Aku tak pernah lupa ketika pertama kali mendengar nama Mao Tse Tung. Waktu itu, di tahun 1964, aku lulus dari sekolah Zhonghua Xuéxiào di Bandung. Seorang teman memperkenalkan aku pada buku kecil berwarna merah, Máo Zhǔxí Yǔlù1 yang dibawanya dari Peking. Buku itu tak tebal, tapi isinya menyala-nyala dan langsung merasuk ke dalam pikiranku. Mao berbicara tentang kekuatan rakyat, kesetaraan, dan masa depan yang lebih baik untuk semua orang. Aku membacanya dengan gemetar, meski tangan dan pikiranku terasa lebih kuat setelah setiap halaman. Sejak saat itu, pikiranku selalu penuh oleh cita-cita besar yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Aku selalu melihat ketidakadilan di sekitar, tetapi baru setelah membaca karya-karya Ketua Mao aku mulai benar-benar memahami apa artinya menjadi setara. Aku merasa ada panggilan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar daripada hidup biasa-biasa saja. Mao mengajarkan bahwa setiap orang memiliki peran dalam revolusi, bahkan perempuan, yang selama ini dianggap hanya sekadar pelengkap dalam masyarakat.

Lihat selengkapnya