Namaku Ong Giok Lan. Orang-orang memanggilku Giok.
Sejak kecil, aku tahu dunia tidak selalu adil. Aku melihat anak anak buruh dan anak anak kampung sebayaku di sekitar rumah dan toko ayahku berkeliaran dengan tubuh dan kaki telanjang dengan rambut kusut masai dan ingus yang sepertinya tidak pernah pergi dari bawah hidung mereka. Tubuh mereka kurus namun perut mereka buncit. Aku duduk di meja di balik etalase toko, mengerjakan pekerjaan rumahku, melihat mereka mengintip dengan takut ke makanan di atas meja di hadapanku. Mereka terlihat sangat kelaparan. Entah apakah mereka sudah makan sesuatu sejak pagi. Aku ingin menawarkan mereka makananku, namun Atjia menegurku.
“Simpan makananmu. Biar orang tua mereka memberi makan anaknya sendiri. Lagi pula, mereka tidak makan babi seperti kita, Giok!”
Aku melihat pada anak anak itu dengan iba. Mereka, melihat kehadiran Atjia, segera menjauh namun kulihat mereka masih sempat menoleh kepadaku.
Ketika aku beranjak remaja, pemikiran-pemikiran baru mulai merasukiku. Phan Laoshi, guru sejarahku meracuniku dengan buku-buku dari Peking dan Shanghai yang selalu didapatnya dari sahabatnya di sana. Buku-buku itu membuka mata kami lebar-lebar.
Aku juga tak pernah lupa ketika pertama kali mendengar nama Mao Tse Tung. Waktu itu, di tahun 1964, aku lulus dari sekolah Zhonghua Xuéxiào di Bandung. Seorang teman memperkenalkan aku pada buku kecil berwarna merah, Máo Zhǔxí Yǔlù yang dibawanya dari Peking. Buku itu tak tebal, tapi isinya menyala-nyala dan langsung merasuk ke dalam pikiranku. Mao berbicara tentang kekuatan rakyat, kaum buruh dan tani yang bersatu melawan kesewenangan para penguasa modal dan tanah, kesetaraan, dan masa depan yang lebih baik untuk semua orang.
Mao juga tentang perempuan-perempuan yang punya hak yang sama, tidak lagi dikurung di dalam rumah. Aku membacanya dengan gemetar, meski tangan dan pikiranku terasa lebih kuat setelah setiap halaman. Sejak saat itu, pikiranku selalu penuh oleh cita-cita besar yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Saat lulus sekolah itu, aku menghadapi simpang jalan yang menakutkanku. Ayahku ingin aku membantu di toko seperti kakak kakak dan abang abangku, dan kelak menikahi lelaki pilihan keluarga seperti kakak kakakku. Namun aku tahu, ada sesuatu yang lebih besar menantiku di luar sana.