Hong, Qilin, dan Dua Negeri

Petrus Setiawan
Chapter #38

Berhenti Menjadi Manusia

Hari itu, beberapa waktu setelah pembunuhan para jenderal di Jakarta, ketika aku sedang menuntun anak-anak bernyanyi di ruang kelas, sekelompok tentara berseragam pakaian dinas lapangan datang. Tanpa peringatan, mereka menyerbu masuk, membubarkan anak-anak yang menangis ketakutan. Salah satu dari mereka menarikku kasar, menyeretku naik ke dalam truk yang sudah dipenuhi banyak perempuan lain, seperti sekumpulan barang. Aku bingung, tak tahu apa yang terjadi.

Mereka menyeret kami para perempuan ke dalam sebuah sel pengap. Di dalam sel yang gelap itu, bau keringat, kencing dan kemudian juga darah menyengat hidungku. Suara jeritan menggema, bercampur dengan suara langkah sepatu bot yang berat. Malam pertama, mereka menginterogasiku. Satu tentara menampar pipiku dengan keras. Kepala berputar, tapi aku tetap bertahan.

"Kamu Gerwani? " Suara itu tajam, dingin, tanpa ampun.

"Sekolah kami dikelola Gerwani, tapi saya hanya mengajar anak-anak, Pak" jawabku terisak. "Saya tidak ikut-ikutan politik."

Mereka tertawa mengejek. "Semua komunis bilang begitu."

“Katakan, di mana pemimpinmu bersembunyi! Kau tahu apa yang bisa kami lakukan pada Cina komunis sepertimu!”

Malam itu mereka menyeretku lagi. Kali ini, mereka menahanku di ruang sempit penuh perempuan. Bau keringat menusuk. "Kami tahu kau berbohong," kata seorang interogator dengan tatapan buas. "Kau bekerja untuk PKI."

"Saya hanya guru yang tidak punya peran apa-apa, Pak," bisikku, suara nyaris hilang.

Tamparan demi tamparan, mereka ingin mendengar pengakuan yang tidak pernah bisa kuberikan. Tubuhku hancur dipukuli, tapi jiwaku belum mati. Di sela-sela pingsan dan sadar, aku mendengar mereka berteriak pada tahanan lainnya, menyebut mereka pelacur komunis. Teriakan perempuan-perempuan itu menghantui telingaku. Aku mulai tak bisa membedakan lagi mana kenyataan dan mimpi buruk.

Semua yang masuk tempat itu artinya sudah berhenti jadi manusia. Kami diberi makan bulgur satu kali sehari. Makanan yang pantasnya untuk babi itu membikin mulut, perut dan dubur kami perih waktu mau dikeluarkan. Yang namanya kakus hanya lobang panjang di tanah yang meski disiram, tahi begitu banyak orang tetap saja menumpuk.”

Dimaki, dibentak, ditempelengi, dipukuli, kuku digencet pakai kaki meja yang lalu diduduki tentara berbadan gendut adalah peristiwa sehari-hari. Yang didengar, dilihat, dibaui setiap hari hanya ketakutan, kengerian, sampai kematian. Banyak yang tidak tahan lalu mati. Banyak yang tidak mati-mati tapi karena tidak tahan jadi tetap memilih mematikan diri.”

Lihat selengkapnya