Hanya ada satu tempat yang kutuju saat mereka mengusirku dengan ngeri. Tidak perlu kuceritakan. Atjia, perempuan yang memeliharaku sejak lahir, selalu menjadi tujuanku pulang. Dia terlihat semakin tua karena kekuatiran dan kekecewaan hidup. Dan dia, sejak dulu, tahu bahwa ada roh lain di dalam tubuhku, roh yang menjadi musuh besarnya, yang selalu menjadi duri dalam daging yang selalu menyelakakan orang-orang yang dikasihinya.
Saat ini, salah satu orang yang dikasihinya meski bukan darah dagingnya, datang kepadanya dengan membawa tubuh dan jiwa yang hancur, dan kewarasan yang tidak sampai separuh. Dan Atjia, dengan kemampuannya, sudah pasti lebih tahu. Dia langsung tahu ada yang berubah di tubuh dan jiwaku.
Bagaimana pun aku mencoba menyangkalnya, pada akhirnya kenyataan itu terjadi padaku. Seperti tubuhku masih bisa melindungi sesuatu yang lebih suci daripada segala kotoran yang ditinggalkan para iblis di tahanan itu pada tubuhku. Perutku terus membesar. Di dalamnya ada sesuatu yang hidup, meskipun aku sendiri hampir mati dalam tubuh tengkorak ini.
Lalu tibalah saatnya. Aku tak tahu bagaimana harus merasa. Saat bayi itu keluar dari tubuhku, aku merasa seperti terpecah dua—antara rasa sakit yang menyayat tulang dan kelegaan yang tak bisa kulukiskan. Ruangan lembab itu, bau anyir darah, bau pesing dan kotoran yang menguar, tak lagi ada artinya. Yang ada hanya tangisan kecilnya, suara pertama yang kudengar darinya, nyaring dan hidup. Aku menatapnya, tubuhnya kecil dan berkerut, matanya masih terpejam. Dia milikku.
Tak peduli siapa yang menanam benih itu dalam tubuhku. Tak peduli berapa kali mereka menindihku, menghancurkan tubuh dan harga diriku. Tapi dia, anak ini, adalah hidupku yang baru. Saat kusentuh kulitnya yang lembut, sesuatu mengalir di dadaku. Rasa hangat yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Air mata menggenang di pelupuk mataku, tapi bukan air mata kesedihan. Ini rasa haru yang mengalir deras, mencuci bersih segala kebencian dan rasa sakit yang pernah kutahan.
Dia tak pernah meminta untuk dilahirkan dari kehinaan ini, tapi dia ada di sini sekarang, dan hanya aku yang bisa melindunginya. Aku memeluknya lebih erat, takut kehangatan ini akan hilang jika kulepaskan. Aku tersenyum, meski bibirku bergetar. Aku bahagia, meski tahu dunia takkan memberi tempat yang layak bagi kami. Tapi saat ini, hanya aku dan dia, anakku, Ken.
Malam saat dia lahir, langit gelap gulita dan turun hujan badai dahsyat yang tidak pernah kulihat sebelum dan sesudah hari itu. Di tengah badai semalaman yang begitu mengerikan, ada cahaya amat terang di langit sebelah Barat. Kata Atjia, Qilin hadir menampakkan diri padanya. Dia hadir sebagai pelindung Ken dari mahluk-mahluk jahat. Itu termasuk Tjempaka. Jawaban Atjia melegakanku.
Kulihat bayi berkulit cerah dan bermata sipit di hadapanku. Aku berjanji akan melindunginya meski aku tahu tak punya kekuatan untuk itu. Dari kehidupan yang kejam karena lahir dari ibu seperti ini, keadaan seperti ini. Dan, dari si jahat Tjempaka. Ya, Tjempaka. Si jahat yang melindungiku tapi terus menyuruhku melakukan hal-hal yang menyenangkan hatinya.